Mohon tunggu...
Muhammad Rizky Fajar Utomo
Muhammad Rizky Fajar Utomo Mohon Tunggu... Lainnya - Personal Blogger

part-time dreamer, full-time achiever | demen cerita lewat tulisan | email: zawritethustra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tren Thrift Shop di Indonesia: Dalam Bayang-bayang Subkultur dan Gentrifikasi Pakaian

10 Januari 2021   19:34 Diperbarui: 10 Januari 2021   22:11 4230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak dapat dipungkiri lagi, thrift shop merupakan 'penyumbang' akan ketersediannya identitas subkultur generasi saat ini. Banyak generasi milenial yang menjadi suka atau memiliki hobi thrifting di lokasi-lokasi maupun akun-akun media sosial yang menjual pakaian bekas dengan tujuan mencari pakaian-pakaian yang masuk ke dalam kategori rare sebagai identitas diri suatu anggota subkultur.

Sarah L. Thornton, seorang sosiolog kebudayaan, mengatakan bahwa subkultur adalah terminologi klasifikatoris yang mencoba memetakan dunia sosial dalam suatu tindak representasi.  

Jadi, subkultur merupakan suatu 'seluruh cara hidup' atau 'peta makna' yang menjadikan dunia ini dapat dipahami oleh anggotanya dan direpresentasikan melalui ciri khas suatu identitas subkultur. Kata 'sub' sendiri, mengutip Chris Barker dalam bukunya Cultural Studies: Theories and Practices, mengandung suatu konotasi suatu kondisi yang khas dan berbeda dibandingkan dengan masyarakat dominan atau mainstream

Sebagai penyedia identitas subkultur, tren thrift shop sudah pasti dapat kita bayangkan akan dipenuhi oleh banyak pembeli yang berorientasi kepada pakaian yang dapat dikoleksi hingga merepresentasikan dirinya sebagai seorang penggemar genre musik tertentu (misalnya The Upstairs, Club Eighties, dan lain sebagainya) maupun sebagai penggemar fashion dengan gaya tertentu (misalnya gaya berbusana retro-vintage).

GENTRIFIKASI PAKAIAN DALAM TREN THRIFT SHOP

Tren thrift shop yang sedang hype saat ini, selain sebagai ruang penyedia identitas subkultur nampaknya harus kita lihat juga sebagai salah satu bentuk gentrifikasi dalam berpakaian, pasalnya konsumen thrift shop yang ada di Pasar Senen dan lokasi loak lainnya saat ini mayoritas bukan lagi dari kalangan bawah namun juga dari kalangan menengah ke atas. 


Gentrifikasi sendiri secara umum merupakan perubahan sosial budaya di wilayah yang tercipta akibat penduduk kaya membeli properti di pemukiman yang kurang makmur. Akibat gentrifikasi ini pun adalah pendapatan rata-rata meningkat dan ukuran keluarga rata-rata berkurang di masyarakat, yang kelak akan mengakibatkan pengusiran ekonomi secara tidak resmi terhadap penduduk berpendapatan rendah.

Thrift shop yang semula diperuntukan kelas bawah yang kurang mampu, kini menjadi konsumsi masyarakat menengah ke atas. Perubahan makna juga dirasakan dalam gentrifikasi pakaian yang terjadi saat ini. Pakaian bekas yang oleh masyarakat kelas bawah dimaknai dari segi nilai gunanya, kini di tangan para masyarakat kelas menengah ke atas berubah menjadi lahan bisnis yang menjanjikan, berubah menjadi komoditas yang dapat menjadi barang koleksi, hingga menjadi identitas dalam berpakaian. 

Saat ini, sebagaimana kita bisa rasakan, saat masyarakat kelas menengah ke atas membeli pakaian bekas, bukan lagi tentang nilai guna namun karena pertimbangan 'unik' dan barang 'branded' dengan harga di bawah setengah harga.

Tidak ada yang salah pada masyarakat menengah ke atas yang membeli pakaian bekas, karena mereka juga turut berpartisipasi untuk mencegah menumpuknya limbah tekstil seiring juga dengan masih adanya praktik fast fashion. Namun akan menjadi suatu kesalahan jika para pebisnis thrift shop malah menargetkan pangsa pasarnya hanya kepada kalangan menengah ke atas dengan pertimbangan brand yang dijual adalah brand orisinal-terkenal maupun dengan banderol harga yang mungkin saja tidak dapat diusahakan oleh masyarakat kelas bawah karena barang dijual di dalam toko sehingga harus menaikan keuntungan sekian persen untuk biaya perawatan dan sewa toko. 

Gentrifikasi pakaian semacam ini pun telah menjadikan banyak para pedagang pakaian bekas di pasar loak menaikan harganya dan hal ini pun dikhawatirkan ke depannya akan merampas ruang alternatif belanja pakaian masyarakat kelas bawah yang hanya mampu membeli pakaian dengan harga berkisar Rp. 5000,- hingga Rp. 20.000,- saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun