Mohon tunggu...
Rizki Zakaria
Rizki Zakaria Mohon Tunggu... Pengajar Bahasa

Penghuni bumi dan penyuka angin

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sekolah Mesti Mau Berpikir Ulang

22 Juli 2025   11:06 Diperbarui: 22 Juli 2025   11:17 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aktivitas belajar di salahsatu SMA (Dokumen Pribadi)

Di era dunia ketiga ini, siapa pun bisa merasa paling tahu. Sekali ketik di Google, ChatGPT, dan AI lainnya akan muncul ratusan jawaban. Fenomena ini dikupas tajam oleh Tom Nichols dalam bukunya yang berjudul The Death of Expertise. Ia menyoroti bagaimana orang kini bangga menolak saran ahli/pakar, seolah setiap opini memiliki bobot setara dengan pengetahuan yang telah terhimpun dan berkembang bertahun-tahun. Ironisnya, virus anti-kepakaran ini juga merambat ke ruang kelas, termasuk tingkat sekolah menengah di Indonesia. Dalam tulisannya, Nichols memang menyoroti kampus yang memperlakukan mahasiswa sebagai klien/pelanggan. Di Indonesia, logika ini menjalar ke sekolah. Murid dan orang tua merasa berhak 'memesan' nilai. Guru pun terdorong jadi semacam "badut" atau dancing bears kalau kata Nichols. Itu semua demi evaluasi yang bagus, demi popuaritas. Padahal, ruang kelas bukan panggung hiburan apalagi panggung pencari sensasi.

Parahnya lagi, muncul istilah ilusi kesetaraan. Siswa dan guru dianggap memiliki kesetaraan secara pengetahuan. Hubungan pedagogis jadi kabur. Guru kehilangan otoritas sebagai pemandu cara berpikir. Di Indonesia, tren "guru belajar dari siswa" memang menyejukkan di brosur webinar dan caption para guru influencer, tetapi kalau kebablasan, bisa membuat murid menyepelekan peran pendidik. Padahal, dalam belajar, ada peran membimbing, mengarahkan, dan mendisiplinkan cara berpikir. Kadang prinsip egaliter itu mesti dibedah lebih mendalam. 

Nichols menyoroti budaya "tidak boleh gagal". Hal yang sangat relevan, di sekolah kita, remedial tanpa batas, nilai dinaikkan agar rapor mulus dan lulus SNBP. Akibatnya, siswa lulus di atas kertas tapi sering lemah dalam logika kritis. Keluhan itu sangat dirasakan pihak universitas hingga akhirnya keluar kebijakan tes kemampuan akademik deh dari kementerian. Ditambah lagi ada istilah "helikopter parenting" yaitu orang tua membantu tugas berlebihan dan memanjakan akademik anaknya, inilah yang mengikis tanggung jawab akademik murid.

Semua hal tadi sangat berdampaknya nyata. Buktinya, diskusi di kelas hanya permukaan. Isu sensitif dihindari agar "aman". Padahal, kampus (dan sekolah) seharusnya membuat berpikir itu tidak nyaman. Tanpa ruang debat, nalar tumpul. Adakah langkah alternatifnya? 

Kembalikan wibawa pedagogis guru. Tegaskan peran guru sebagai penuntun berpikir, bukan hanya teman ngobrol. Di SMA, biasakan siswa mendebat data, menulis argumen, merevisi gagasan. Nilai diambil bukan sekadar dari jawaban akhir, tetapi dari prosesnya. Bentuknya riset sederhana, diskusi kelas, revisi karya teman. Orang tua cukup mendampingi, bukan menggantikan, jangan memanjakan. Terakhir, memang kecukupan nilai gaji guru berkaitan dengan keengganannya untuk berubah dan berkembang. Sosok kepala sekolah mesti jadi penjembatan resistensi, pemberi solusi praktis, atau bahkan rela mengorbankan diri sampai-sampai kocek ia keluarkan sendiri.  

Untuk kegiatan sekolah, mulai dengan debat rutin lintas pelajaran. Guru jadi moderator, siswa menyiapkan data. Dari situ, siswa belajar bahwa pengetahuan tidak instan. Butuh proses dan tidak semua orang langsung menjadi ahli. Di ruang kelas, guru punya kewajiban mendidik dengan disiplin, siswa punya kewajiban mendengar dengan rendah hati. Keselarasan yang hakiki. Inilah cara membangun demokrasi pengetahuan bukan sekadar mencetak lulusan saja. Sudah waktunya ruang kelas kembali jadi taman akal dan jiwa. Tempat siswa belajar berbeda pendapat, menghargai keahlian, dan perlahan, tumbuh jadi warga yang berpikir jernih.

***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun