Mohon tunggu...
Rizki Zakaria
Rizki Zakaria Mohon Tunggu... Pengajar Bahasa

Penghuni bumi dan penyuka angin

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

FOMO Pendidikan "Barat" dan Lupa pada Diri Sendiri

30 Juni 2025   17:58 Diperbarui: 30 Juni 2025   17:58 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Pendidikan bukan persiapan menuju kehidupan, tetapi kehidupan itu sendiri," kata John Dewey dulu, kira-kira seratus tahun lalu. Saya hanya ingin sedikit berkisah saja, beginilah ceritanya.

Di kota-kota besar Indonesia, macam Jakarta atau Bandung, pendidikan Montessori dan Waldorf kerap dijadikan pilihan eksklusif bagi orang tua muda pencinta inovasi, apalagi pilihan pasti untuk si buah hati. Label "pendidikan terbaik" sering melekat pada keduanya. Lingkungan belajar yang estetik, guru yang sabar, alat peraga yang artistik, ya, semuanya tampak seperti jawaban dari keresahan atas pendidikan konvensional. Namun, ada satu hal yang jarang ditanya, apakah pendekatan ini benar-benar cocok dengan konteks manusia Indonesia?

Konon, kedua metode ini lahir dari Eropa awal abad ke-20. Maria Montessori, seorang dokter, merancang model belajar berbasis eksplorasi dan kebebasan bertanggung jawab. Sedangkan, Rudolf Steiner, filsuf spiritual, mendirikan Waldorf sebagai pendidikan holistik berbasis seni, ritme, dan spiritualitas manusia. Tapi keduanya, sebagaimana ditegaskan oleh Noddings (2016), lahir dalam konteks modernitas Eropa yang sangat berbeda dari realitas sosial di negara berkembang macam Indonesia.

Saat ini, banyak pendiri sekolah mengadopsi pendekatan ini tanpa memahami akar filosofis maupun tantangan praktisnya. Inilah wajah baru FOMO pendidikan, yaitu ketakutan tertinggal tren, sehingga mengejar metode asing tanpa kritis. Padahal, menurut laporan SMERU Research Institute (2023), 85% anak usia dini di Indonesia masih belajar di lembaga PAUD dengan fasilitas terbatas dan guru yang belum tersertifikasi penuh. Maka, adopsi metode mahal dan eksklusif ini hanya menjangkau sebagian kecil masyarakat, tanpa menjawab persoalan struktural pendidikan nasional.

Berbeda dengan Montessori dan Waldorf, John Dewey menekankan bahwa pendidikan adalah proses sosial yang menumbuhkan partisipasi aktif anak dalam masyarakat. Sekolah, bagi Dewey (1916), adalah miniatur masyarakat yang demokratis, tempat anak belajar melalui pengalaman konkret, bukan sekadar instruksi atau imitasi. Pendidikan yang baik, tegasnya, adalah yang menyatu dengan kehidupan dan membentuk karakter warga negara yang kritis dan terlibat.

Sayangnya, semangat ini masih kurang mewarnai reformasi pendidikan Indonesia. Padahal, kita tak kekurangan contoh lokal. Di komunitas adat seperti Baduy atau Ciptagelar, anak-anak belajar bekerja, menjaga alam, dan hidup bermasyarakat secara organik. Mereka tumbuh dalam pendidikan yang membumi dan membebaskan, walau tanpa karpet Montessori atau dongeng imajinatif Waldorf.

Kita tidak anti inovasi. Namun, ketika pendidikan diubah menjadi tren gaya hidup, yang dipoles indah tetapi jauh dari akar sosial kita, maka saatnya bertanya ulang. Pendidikan untuk siapa, dan untuk apa? Sudah waktunya kita bangun model pendidikan yang adil, relevan, dan reflektif yang berbasis nilai lokal, sains, dan kemanusiaan. Pastinya bukan sekadar meniru metode luar negeri yang "sedang naik daun" atau sedang banyak disenangi "pasar".

Ya, begitulah.

Daftar Pustaka:

Dewey, J. (1916). Democracy and Education. New York: Macmillan.

Noddings, N. (2016). Philosophy of Education (4th ed.). Routledge.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun