Mohon tunggu...
Rusdianto Samawa Tarano Sagarino
Rusdianto Samawa Tarano Sagarino Mohon Tunggu... Dosen -

Membaca dan Menulis adalah Mutiara Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Politik

Revolusi Mental Persimpangan Jalan

3 November 2015   18:55 Diperbarui: 3 November 2015   20:09 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Presiden Republik Indonesia pertama Soekarno, memberikan pesan yang sungguh luar biasa maknanya, bahwa Indonesia harus menggoyangkan langit, menggemparkan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2,5 sen dollar sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli, bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita. (Rusdianto, Nasib Bangsa Bermental Tempe, tangselpos 23/03/2015).

Negara seperti tak ada kendali, kebijakan diluar kewarasan, sangat menggelikan. Komentar dan pencitraan menggoda mata telinga, membuaskan mulut dan membuat efek ketidakpatutan. Jadi pemerintah kok senang menyirami rakyat dengan keputusan mencekik, menaburi amarah pecah belah institusi politik. Sungguh penguasa memakai cara tak layak di dengarkan dan disaksikan, upaya - upaya pembusukan harus dilurusin supaya mengurus rakyat tidak disamakan dengan bermain dadu, menjadi pemerintah bukanlah tempat empuk yang harus dinikmati karena sejatinya pemeimpin dan kekuasaan ibarat kuburan bagi aib rakyatnya. Kalau saja memuakkan, kenapa harus tampil menggoda seperti pelacur memelacuri rakyatnya.

Padahal rupiah kalap, kebijakan BBM naik turun, beras mahal, sumberdaya alam kian di eksploitasi sepertinya rakyat dijadikan kuda perahan. Mungkin ini sala satu cara atau bagian dari raup untung perbanyak pundi dan pembiayaan janji politik. Mustahil mau swasembada pangan, nasionalisasi aset bangsa, malah yang dipangani para investor kreditur dan mafia ekonomi internasional.

Apakah selama ini petani tidak nampak sengsara, justru petani harus jadi korban pembegalan kebijakan tak populis itu. Jauh dari espektasi kerakyatan malah keputusannya selalu menjauhkan diri dari masyarakat miskin. Kampanye politik masih tergiang di telinga dan diserap oleh otak, rakyat belum lupa terhadap ucapan-ucapan menggiurkan itu.

Namun, rakyat harus menerima kenyataan pahit yang hidup diatas nafas kemiskinan makin sempurna.Mana nuranimu, mana merakyatmu, mana blusukan mu, mana janjimu, sungguh rakyat kau pedalkan dengan mata uang kolonial. Kalau rakyat dipedalkan dengan ekonomi nasional, mungkin pedati ekonomi dengan bak sampah pun juga akan laku. Mengurus negara butuh kearifan dan kelayakan. Sekarang penting merubah previlence agar kuat memimpin sebuah negara.

Menjadi leaders itu, tak harus menampakkan kebencian dan keamarahan karena memang yang demikian dikutuk alam. Leaders itu butuh restu rakyat atas kepemimpinannya, maka berbaik-baiklah mengurus kehidupan rakyat. Sudah tak ada kesempatan untuk berkilah dari penampakan kebohongan sebelumnya. Kalau orientasi kebijakan bertaraf pencitraan berhentilah, percayalah pada diri sendiri akan bisa membawa bangsa yang bernama "Indonesia".

Pencitraan dikala menjepit, berbohong saat ada maunya, setelah mendapatkan apa yang di inginkan tak satupun keringat rakyat di hargai. Semua kewajiban ditunaikan dengan kebohongan. Lihat saja traktor ponorogo di tarik, kartu yang dibanggakan belum juga terasa, janji manis tol laut tidak tampak, kerjasama ekonomi belum menggeliat. Padahal sudah sekian lama berada ditampuk pimpinan tertinggi negara. Malah sebaliknya, emapt bulan lamanya berkuasa turun naik BBM ada empat kali sehingga sering di kenal dengan istilah “empat bulan empat kali kau bohong”.

Kuda Liar Perahan

Indonesia sekian lama berada pada nasib untung rugi, sejak menjabat gubernur DKI Jakarta proyek triliunan rupiah mangkrak, bus karatan transjakarta lahan korupsi, meraup untung melalui ekspor, menjadikan negara seperti kuda liar perahan. Betapa tidak, seluruh infrastruktur proyek gagal total tetapi untung sudah diambil. Jalan ini diyakini untuk mencapai kursi kepresidenan Indonesia.

Menjadi capres bak matahari mengitari dunia pencalonan seperti tak ada kesalahan semua clean and free dari kasus. Padahal, pengadaan bus transjakarta dan MRT adalah proyek gubernur yang direstuinya. Sungguh, malang nasib rakyat yang siap sedia menjadi hatersnya dengan pikiran diputar bolak balik seperti semburan lumpur lapindo menghantam siapapun yang menjelekkan sang nabinya.

Alangkah naifnya bangsa ini, gagasan revolusi mental suatu saat pasti menjadi lembaran sampah yang hanya pintar di ucapkan tetapi tak pandai operasionalkan. Sayang di sayang, seluruh aspirasi sebagai pinta rakyat tak kunjung hadir sebagai manoarfa politik behavioralis. Kini lambat laun, revolusi mental berada di persimpangan jalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun