Bayi yang Membawa Bayang
Sejak malam purnama itu, Desa Lamut tak lagi sama. Warga jadi sering mendengar suara tangisan di antara pepohonan, meskipun tak ada seorang pun di sana. Kambing dan ayam menghilang satu per satu. Dan sungai? Airnya yang dulu jernih kini keruh, berwarna kecokelatan, seperti menyimpan rahasia yang tak ingin disentuh.
Bu Lestari mulai bermimpi aneh. Dalam tidurnya, ia melihat Mira berdiri di tepi sungai dengan wajah pucat, mendendangkan lagu nina bobo dalam bahasa yang tidak ia mengerti. Di pelukannya, sang bayi menatap kosong, dan dari matanya mengalir darah.
Pagi harinya, Bu Lestari mendatangi rumah Mira. Tapi rumah itu kosong. Sepi. Pintu terbuka sedikit, berderit ditiup angin. Di lantai, ada jejak kaki kecil... tapi bukan jejak bayi. Jari-jarinya terlalu panjang, dan tiap jejak diikuti tetesan darah.
Pak Ranu dipanggil. Ia membawa semacam pendulum dari akar bajaka, dan ketika alat itu berputar liar di depan rumah, wajahnya mengeras.
"Mereka dibawa," katanya singkat. "Ke tempat asal kekuatan itu... ke Sungai Petak Mati."
Sungai Petak Mati adalah bagian sungai yang berhenti mengalir tak ada arus, tak ada riak. Airnya pekat, dan dipercaya sebagai tempat roh kuyang mengikat janji.
Bu Lestari dan Pak Ranu memutuskan pergi malam itu juga, membawa segala perlindungan: garam, doa, sesajen, dan semangat nekat. Di tengah hutan, mereka melihat sosok Mira atau sesuatu yang menyerupainya berdiri di tepi sungai, menyusui bayinya yang diam... terlalu diam.
Mira menoleh perlahan. Matanya tidak berkedip.
"Dia milik darahku," bisiknya.
"Mak Ijah memilihku... dan sekarang dia memilih anakku."