Mohon tunggu...
Rizki Muhammad Iqbal
Rizki Muhammad Iqbal Mohon Tunggu... Penulis - Suka makan ikan tongkol

Hari ini adalah besok pada hari kemarin

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Merumuskan Ulang Identitas Sembari Merayakan Kenikmatan

2 September 2020   17:52 Diperbarui: 2 September 2020   17:41 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: winnetnews.com

Dalam bab selanjutnya, para pembaca akan digiring mengenai berbagai pertanyaan dan gagasan yang menarik mengenai bagaimana menjadi Islam yang modern dan kosmopolit melalui sinema. Di sini kita akan mulai berpikir tentang pertentangan yang terjadi antara Islam tradisional dengan Islam 'modern' melalui film. Kita akan melihat secara lebih rinci mengenai persaingan tajam antara film-film Islami, nilai-nilai yang terkandung dan perdebatan panjang mengenai bagaimana cara menjadi Islam yang baik.

Proses Islamisasi sendiri memang sudah sering digalakkan sejak dulu, namun proses yang meluas dan menguat secara lebih tajam baru terjadi belakangan ini. Hal ini nampak dari politik Islam yang berusaha memasukkan Islamisasi dalam parlemen nasional, namun lebih cenderung mengalami kegagalan. Menurut buku ini, setidaknya terdapat dua faktor eksternal yang menyulitkan laju Islam dalam perpolitikan di dua abad terakhir, yakni karena adanya pemerintahan sekuler, baik itu kolonial maupun pemerintahan Indonesia selanjutnya, dan adanya kelompok kiri yang selalu menghambat kekuatan Islam dalam perpolitikan (hlm.113).

Proses Islamisasi ini menguat ditandai dengan adanya pemusnahan kaum kiri serta yang terduga simpatisannya secara massal pasca peristiwa G30SPKI. Berbagai ulasan penting dibahas dalam bab ini. Salah satu dugaan yang muncul adalah mengenai para jenderal Angkatan Darat di bawah kepemimpinan Soeharto yang mengambil keuntungan politis dalam peristiwa ini, serta peran dari pihak sipil anti-komunis dan organisasi Islam yang turut aktif berperan dalam memusnahkan kaum kiri ini secara massal.

Kemudian analisis kembali kepada persoalan sinematik yang mempropagandakan kerangka ideologi Orde Baru melalui narasi induk yang diproduksi dalam film G30SPKI. Namun setelah rezim Orde Baru tumbang, film-film yang menjadi narasi tandingan atas film G30SPKI mulai gencar digalakkan untuk menemukan suatu kebenaran sejarah.

Meskipun begitu, kampanye anti-komunis masih terjadi di mana-mana, bahkan melalui tembok kekebalan hukum. Hal ini nampak dari persoalan traumatis dan luka sosial berkepanjangan dalam masyarakat mengenai dugaan dan ketakutan dari kebangkitan komunisme. Akibatnya, sampai hari inipun masih banyak pembubaran diskusi terkait komunis, penyitaan buku beraliran kiri, serta permasalahan yang muncul belakangan ini seperti demonstrasi dari gabungan beberapa ormas Islam dengan memunculkan isu mengenai komunisme.

Pengangkatan isu komunisme dengan mengatakannya sebagai musuh bangsa tanpa menganalisis sejarah lebih mendalam inilah yang juga menyebabkan apa yang menjadi istilah dari Ariel Heryanto tentang 'logika mutlak-mutlakan'. Logika ini juga yang menyebabkan maraknya politik identitas yang memecah belah bangsa tanpa campur tangan aparat negara (hlm.162).

Dengan kemunculan perangkat digital pun juga tidak banyak membantu meluruskan persoalan mengenai peristiwa 1965 atau meningkatkan kepedulian generasi muda untuk meninjau mengenai peristiwa bermasalah itu yang turut membentuk mereka hari ini. Menurut Ariel Heryanto, tidak ada alasan yang kuat bagi mereka untuk peduli terhadap peristiwa mengerikan itu. Sebaliknya, mereka justru memanfaatkan teknologi media sebagai ruang untuk kebebasan yang baru untuk merumuskan identitas sembari merayakan kenikmatannya secara kolektif.

Dalam sejarah panjang mengenai peristiwa berdarah 1965, upaya pencarian identitas nasional melalui ranah sinematik juga melibatkan penghapusan kelompok minoritas etnis Tionghoa yang justru memainkan peran kunci dalam industri film di Indonesia. Etnis Tionghoa yang pada jaman Orde Baru tertindas dan terasingkan namun juga dipertahankan untuk kepentingan ekonomi negara. Dalam bab ini Ariel Heryanto menganalisis bagaimana Orde Baru mengelola apa yang disebut etnis Tionghoa di Indonesia (hlm.206).

Sentimen anti-Tionghoa sudah mereda sejak keruntuhan rezim Orde Baru, walaupun sampai hari ini kita masih menjumpai adanya stigmatisasi pada etnis-Tionghoa yang telah melekat kuat dalam imajinasi sosial. Keruntuhan rezim ini juga menimbulkan semacam kekosongan ideologis dan identitas yang menyebabkan masyarakat yang dulunya terkekang, kini kembali berusaha mencari alternatif yang baru untuk menjelajahi dan mengungkapkan sebuah identitas yang baru sebagai orang Indonesia yang modern. Hal ini bersamaan dengan merebaknya tren kenikmatan seperti budaya populer Korea Selatan atau yang biasa disebut K-Pop.

Analisis Ariel mengenai budaya layar dan tren kenikmatan serta identitas tidak berhenti sampai pada tataran yang sudah dituliskan di atas. Beliau kembali membahas bagaimana peran budaya layar dalam dunia perpolitikan dengan membandingkannya dengan gaya politik era Orde Baru. Kemudian beliau membahas hubungan antara politik dengan budaya populer, di mana media arus utama dan industri hiburan mengambil peranan penting dalam dunia perpolitikan.

Di sini, faktor penentu kesadaran sosial bukan lagi relasi kuasa yang hegemonik seperti dalam rezim Orde Baru, namun karena adanya keterlibatan peran global dan revolusi jaman di mana media dan industri hiburan menjadi faktor kunci dalam berbagai kesadaran baru dan gejala sosial yang muncul dalam masyarakat Indonesia mutakhir. Semua segmen masyarakat terlibat dalam upaya yang cukup kompleks ini untuk merumuskan kembali identitas sambil merayakan kenikmatan mereka setelah terbebas dari kekangan rezim Orde Baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun