Di era sekarang, siapa sih yang nggak langganan Spotify, Netflix, atau hobi checkout di e-commerce? Tapi pernah nggak kepikiran, kalau setiap kali kamu nonton drama Korea, dengerin lagu, atau top up game, kamu sebenarnya sudah bayar pajak?
Yes, itu namanya Pajak Digital. Dan kabar baiknya: kamu udah ikut berkontribusi ke negara, meskipun mungkin kamu nggak sadar.
Pajak Digital, Emang Ada?
Ada banget. Pemerintah Indonesia sejak 2020-an udah mulai serius narik Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11% buat layanan digital luar negeri. Jadi platform kayak Netflix, Disney+, Spotify, bahkan Steam dan App Store, semuanya udah kena pajak kalau beroperasi di Indonesia.
Tapi karena dipotong langsung, kita sebagai pengguna sering nggak ngerasa. Padahal jelas-jelas tertera di struk tagihan langganan. Contoh: Netflix langganan Premium harga aslinya Rp186.000, tapi kamu bayar Rp206.000. Nah, selisihnya itu pajak.
Kenapa Harus Ada Pajak Digital?
Sederhana: biar adil.
Dulu, yang buka usaha fisik kayak toko, bioskop, atau warnet, kena pajak. Tapi platform digital dari luar negeri bebas beroperasi tanpa kontribusi. Padahal mereka juga dapet penghasilan dari pengguna Indonesia.
Dengan pajak digital, pemerintah pengen bikin lapangan persaingan yang lebih seimbang antara bisnis lokal dan global. Dan tentu aja, buat nambah penerimaan negara.
Tapi Apa Dampaknya Buat Kita?
Secara langsung: ya biaya langganan atau pembelian jadi sedikit lebih mahal. Tapi kalau dipikir lagi, nggak ada perubahan yang terlalu signifikan. Dan secara nggak langsung, kita juga ikut bantu pembiayaan infrastruktur, pendidikan, dan layanan publik.
Yang penting adalah kita melek. Kita sadar bahwa hidup di era digital bukan cuma soal update tren, tapi juga ngerti bagaimana sistem ekonomi dan pajak bekerja di balik layar.