Mohon tunggu...
Rizka NurulIzzah
Rizka NurulIzzah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

fast learner

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kontroversi Netizen Indonesia di Facebook terhadap Pernikahan Pasangan Gay Thailand Dikaji dalam Perspektif Teori Perilaku

17 Mei 2021   22:20 Diperbarui: 17 Mei 2021   22:33 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pernikahan sejatinya merupakan momen bahagia dan spesial bagi setiap orang yang merayakan. Hal tersebut sepatutnya juga dirasakan oleh pasangan gay asal Thailand yang menggelar pernikahan secara resmi pada bulan April 2021 lalu. Seperti tidak ada jera, netizen Indonesia berulah dengan menghujat habis-habisan pada unggahan foto pernikahan pasangan gay tersebut di Facebook dengan dalih “dilarang tuhan” atau “membuat dunia akan kiamat”. Merasa terkejut atas prilaku netizen Indonesia, salah satu pasangan gay tersebut menyampaikan keheranannya atas kontroversi yang terjadi “kami menikah di rumah dan di negara sendiri secara resmi, mengapa netizen Indonesia bersikap kasar dan mendramatisasi hal tersebut?”. Merasa dirinya dipermalukan dan mendapat ancaman mati kepada pasangan gay tersebut, orang tua, hingga fotografer pernikahan, akhirnya pasangan ini terpaksa menempuh jalur hukum.

Menyoroti kasus tersebut sungguh menjadi keprihatinan, netizen merasa sangat leluasa dalam menyampaikan opininya di media sosial karena disokong oleh iklim demokratis yang menjamin setiap orang memiliki kebebasan dalam berpendapat. Selain itu, karakteristik dari media sosial juga turut mempengaruhi, dimana setiap orang tidak saja mengonsumsi informasi, melainkan juga memproduksi dan mendistribusikan informasi. Karakteristik ini menjadikan setiap orang punya otoritas memilih dan membuat sendiri opini dan menyebarkannya kepada siapa saja yang dikehendakinya.

Menurut Simangunsong (2017), keberadaan media sosial sepatutnya bertujuan untuk mempererat hubungan atau mencari dan membangun hubungan dengan orang lain. Namun, kenyataan yang terjadi saat ini, aktivitas netizen di media sosial cenderung sembarangan dalam mengeluarkan pernyataan. Beberapa netizen di media sosial bahkan saling menyerang, melecehkan atau mencederai identitas netizen lainnya (Syahputra, 2016). Menurut KBBI, netizen atau warganet "warga internet" sebagai orang yang aktif menggunakan internet. Artinya netizen merupakan orang yang secara aktif terlibat dalam komunitas online atau internet.

Untuk memahami kontroversi ini dapat dikaji secara lebih mendalam melalui teori perilaku dalam konsep diskriminasi. Behaviorism atau aliran perilaku pada bidang Sosiologi digagas oleh B. F. Skinner (1904) yang dilakukan dengan mengamati perilaku burung merpati dan menghasilkan sebuah konsep operan (operant). J.B.Watson (1940) penggagas teori perilaku dalam bidang psikologi sosial, mempelajari hubungan respon dengan stimulus atau yang dikenal dengan Teori S-R (Teori Stimulus – Respon), dengan menyebut bahwa setiap tingkah laku itu merupakan balasan (response) terhadap stimulus, karenanya stimulus sangat mempengaruhi tingkah laku. Stimulus merupakan lingkungan belajar, baik internal ataupun eksternal sebagai penyebab belajar; dan respon merupakan reaksi fisik terhadap stimultans. Belajar bermakna penguatan ikatan, sifat, asosiasi, serta kecenderungan S-R (Hermansyah, 2020). Dalam Teori S-R, B.F. Skinner mengemukakan terdapat konsep penyamarataan (generalization) dan diskriminasi (discrimination).

Konsep pernikahan yang selama ini lazim bagi masyarakat adalah pernikahan yang terjadi diantara lawan jenis (laki-laki dan perempuan). Konsep pernihakan seperti ini umumnya selalu berakhir pada stimulus dan respon yang baik dan positif, seperti mendapat pujian atau ucapan selamat. Berbeda hal nya dengan konsep pernikahan sesama jenis (gay). Meskipun bukan sebuah hal yang baru dan sudah banyak negara-negara di dunia yang melegalkan hal ini, pernikahan sesama jenis masih menjadi hal yang diperdebatkan dan terkesan "tabu". 

Melihat dari kasus tersebut, netizen Indonesia melakukan tindak diskriminasi kepada pasangan gay Thailand. Stimulus yakni lingkungan sekitar netizen Indonesia yang melakukan hujatan tersebut masih menganggap bahwa pernikahan sesama jenis merupakan hal yang buruk, sehingga menghasilkan respon berupa opini/ komentar netizen yang menghujat dan mengancam yang disampaikan pada kolom komentar facebook pasangan gay tersebut.

Keberadaan media sosial memang dirasakan sangat menguntungkan apabila digunakan secara bijak, namun juga dapat membawa berbagai masalah sebagai akibat adanya kebebasan yang diberikan seolah membuat hilangnya prinsip etika dan kesopanan. Sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan, menjadi “nampak wajar” untuk dilakukan. 

Bahkan tidak sedikit yang menganggapnya bukan sebuah kesalahan yang diiringi dengan berbagai pembenaran yang dimunculkan. Melalui kasus ini, menjadi pelajaran berharga bahwa setiap orang harus menghargai keputusan orang lain, selagi hal tersebut tidak merugikan orang lain. Membiasakan diri memfilter dan paham dalam menyikapi setiap informasi, kejadian, atau fenomena yang terjadi di media sosial menjadikan kita bijak bermedia sosial, sehingga hanya hal-hal positif saja yang akan kita dapatkan melalui media sosial.

Daftar Pustaka

Hermansyah. (2020). Analisis teori behavioristik (edward thordinke) dan implementasinya dalam pembelajaran sd/mi. Jurnal Program Studi PGMI, 7(1), 15–25.

Syahputra, I. (2016). Demokrasi virtual dan perang siber di media sosial : perspektif netizen Indonesia. Jurnal ASPIKOM, 3(3), 457–475.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun