Aku menuliskan kisah ini pada tahun 2013, tahun pertama aku menjejakkan kaki di Jurusan Teknik Informatika UIN Malang. Saat itu, aku tengah menjalani osjur (orientasi jurusan) yang cukup melelahkan namun penuh warna. Hari-hari itu dipenuhi tugas, canda tawa, dan kenalan baru. Salah satunya adalah Dwi Shinta Dharmopadni, teman sekelompokku yang kemudian menjadi sangat berarti dalam lembaran hidup mahasiswa baruku.
Kami tergabung dalam kelompok bernama Matlab, sebuah nama yang terasa keren untuk anak-anak TI. Shinta bukan gadis biasa; ia cerdas, kritis, dan punya semangat belajar yang menyala. Sejak awal diskusi kelompok, aku tahu, aku tidak bisa menganggap remeh dia. Dan benar saja, dari semua yang ada di kelompok kami, hanya dia yang mampu menyaingi argumenku dalam diskusi.
Ternyata kami punya kesamaan: hobi membaca dan menulis. Itu menjadi awal dari kedekatan kami. Hampir setiap hari, setelah sesi osjur selesai, kami menyempatkan diri mampir ke perpustakaan kampus. Kami tenggelam dalam tumpukan buku, mulai dari filsafat, teknologi, sastra, hingga buku-buku psikologi populer. Kami membaca dalam diam, namun otak kami sibuk menyiapkan argumen.
Setelah membaca, kami biasanya duduk berhadapan di sudut perpustakaan, memulai debat ilmiah berdasarkan buku yang kami baca. Kadang aku mengangkat teori behaviorisme dari Skinner, dan Shinta menimpali dengan pendekatan humanistik Carl Rogers. Panas, seru, kadang membuat kami kehabisan suara. Tapi selalu menyenangkan. Tidak ada yang menang atau kalah. Hanya dua mahasiswa baru yang lapar akan ilmu.
Dari setiap debat itu, kami memperoleh sesuatu yang lebih dari sekedar pengetahuan. Kami belajar mendengar, belajar menyusun argumen dengan data, dan belajar untuk tetap rendah hati meski merasa benar. Shinta selalu punya cara halus untuk menunjukkan kekeliruanku, dan aku pun tak segan mengakui kalau dia benar. Rasanya seperti latihan menjadi ilmuwan sungguhan.
Setelah puas berdebat, kami selalu menutup hari dengan ritual sederhana: menikmati cokelat hangat di sebuah kafe kecil tak jauh dari kampus. Di sana, topik kami beruba, dari teori besar menjadi obrolan ringan: masa kecil, film favorit, hingga mimpi masa depan. Aku ingat saat Shinta berkata ingin menulis buku suatu hari nanti, dan aku tersenyum, karena aku juga punya mimpi yang sama.
Malam itu, sambil menyeruput cokelat hangat kami, Shinta menatap langit-langit kafe dan bertanya, "Kalau suatu hari nanti kita menulis buku bersama, isinya bakal tentang apa ya?" Aku tertawa kecil dan menjawab, "Mungkin tentang dua mahasiswa yang gemar debat, dan akhirnya menemukan kehangatan dalam cokelat." Ia tersenyum, dan senyumnya lebih hangat dari minuman di tanganku.
Hari-hari bersama Shinta menjadi kenangan yang tak tergantikan. Kami tak hanya belajar ilmu komputer, tapi juga belajar menjadi manusia yang berpikir dan merasa. Osjur tak lagi sekedar masa orientasi, tapi gerbang menuju persahabatan yang bermakna. Siapa sangka, dari kelompok Matlab dan segelas cokelat hangat, tumbuh kisah yang manis dan ilmiah sekaligus.
Kini, bertahun-tahun setelahnya, aku mengenang momen itu dengan syukur. Shinta dan aku memang berjalan di jalan masing-masing, namun kenangan tentang perpustakaan, debat ilmiah, dan cokelat hangat selalu hidup dalam ingatanku. Dan siapa tahu, mungkin suatu hari nanti, buku itu akan benar-benar kami tulis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI