Mohon tunggu...
Rizal Zuhdy
Rizal Zuhdy Mohon Tunggu... Dokter - Simple medical doctor

Seorang dokter umum yang gemar berbagi informasi dan pengetahuan kesehatan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Panduan Tatalaksana Reaksi Syok Anafilaksis

12 Februari 2019   14:30 Diperbarui: 29 Juni 2019   13:52 5201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anamnesis dan pemeriksaan pada reaksi syok anafilaktik atau anafilaksis

Pendahuluan

Definisi dan pengertian reaksi anafilaktik adalah suatu reaksi hipersensitifitas yang bersifat sistemik, generalisata, bersifat serius, dengan onset cepat, dan bisa memberikan ancaman nyawa sampai bisa mengakibatkan kematian. Bilamana hasil reaksinya cukup hebat dan bisa mencetuskan penurunan tekanan darah dan pasien berada dalam kondisi syok, maka disebut sebagai syok anafilaktik. Syok anafilaktik ini memerlukan bantuan yang tepat dan cepat.

Baca selengkapnya tentang definisi, faktor risiko, dan epidemiologi dari reaksi syok anafilaksis pada tautan di  bawah ini:

Pengertian reaksi anafilaktik

Angka kejadian dari anafilaktik sebetulnya sukar untuk diketahui. Hal ini lantaran cukup sering diawali dengan reaksi alergi. Penelitian retrospektif memberikan gambaran bahwa sejumlah 1% pasien yang datang ke UGD dan membutuhkan bantuan maksimal diakibatkan oleh reaksi anafilaktik. Pada umumnya, sebanyak 40-60% reaksi anafilaktik diakibatkan oleh gigitan serangga, sejumlah 20-40% karena pemakaian zat kontras radiologi, dan sisanya 10-20% karena penggunaan farmaka penisilin. Penisilin ini juga menjaadi penyebab 100 dari 500 kematian akibat reaksi anafilaksis.

Anafilaksis bisa mengenai semua golongan umur. Angka kejadian yang tertinggi ada pada kelompuk umur 0 sampai 19 tahun, yaitu sebesar 70 kasus dari 100.000 populasi tiap tahunnya. Alergi makanan yang bersifat berat paling kerap terjadi pada golongan anak-anak. Jenis kelamin bukan menjadi faktor risiko pada kejadian anafilaktik. Namun, ditemukan penyebab khas pada golongan jenis kelamin, yaitu: alergi aspirin dan bahan lateks paling sering pada wanita sedangkan gigitan serangga paling sering pada pria.

Gejala anafilaktik akan terjadi dengan cepat. Semakin cepat onsetnya maka biasanya gejala klinisnya pun akan semakin berat dan mengancam nyawa. Cukup sering anafilaksis tidak terdiagnosis dan tertangani dengan tepat karena kurangnya antisipasi. Oleh karena itu pemahaman mengenai reaksi anafilaktik dan penanganan kegawatannya menjadi penting untuk dikuasai.

Etiologi dan Patofisiologi

Patofisiologi reaksi anafilaktik - Reaksi anafilaktik ialah suatu reaksi imunologi yang mengikutsertakan IgE dan yang kemudian mengakibatkan aktivasi sel mast dan basofil sehingga terjadi pelepasan bermacam mediator inflamasi contohnya histamin, prostaglandin, leukotrien, triptase, platelet-activating factor, sitokin, dan kemokin. Histamin ini berperan penting dalam proses reaksi anafilaktik.

Bermacam-macam agen yang bisa memberikan picuan munculnya mekanisme ini ialah:

  • Makanan, utamanya kacang-kacangan, ikan dan aneka sea-food, telur, dan lainnya
  • Obat, paling sering golongan penisilin, obat antiinflamasi non-steroid
  • Produk berbahan asal latex
  • Aktivitas fisik atau olahraga
  • Zat radio-kontras
  • Gigitan serangga.

Walaupun reaksi anafilaktik bisa mengenai siapa saja, ada beberapa keadaan yang menjadi faktor risiko munculnya reaksi anafilaktik, yaitu:

  • Riwayat atopi pada diri sendiri atau keluarga, seperti rinitis alergi, asma, dermatitis atopi
  • Jalur masuknya agen pencetus anafilaktik. Obat atau makanan yang digunakan secara oral umumnya lebih ringan gejalanya dibanding intravena.

Baca lebih detail tentang patofisiologi pathway reaksi syok anafilaksis di tautan di bawah ini:

Patofisiologi reaksi anafilaktik

Pendekatan Diagnosis

Diagnosis reaksi anafilaktik - Reaksi anafilaktik ialah reaksi sistemik, jadi akan melibatkan bermacam sistem organ. Biasanya, sedikitnya ada dua sistem organ yang ikut terlibat walaupun didahului oleh salah satu sistem organ saja. Empat sistem organ yang cukup sering terlibat saat reaksi anafilaktik ialah integumen/ kulit, sistem respirasi/ pernafasan, gastrointestinal/ pencernaan, dan kardiovaskular/ jantung dan pembuluh darah. Tanda dan gejalanya pun terjadi sesuai dengan sistem organ tersebut. Hal paling penting yang perlu diingat ialah gejala anafilaktik akan terjadi akut dan progresivitasnya sangat cepat dan bisa menjadi berat dalam tempo singkat. Sangat penting bagi tenaga medis untuk mampu mengetahui gejala awalnya.

Berikut tabel anamnesis dan pemeriksaan fisik reaksi syok anafilaktik :

Kriteria Diagnosis

Reaksi anafilaktik dapatditegakkan diagnosisnya dengan cara anamnesis dan pemeriksaan fisik berdasarkan kriteria klinis yang telah ditetapkan oleh National Institute of Allergy and Infectious Disease (NIAID) yaitu:

1. Onset gejala akut (dalam waktu menit sampai jam) yang melibatkan kulit, mukosa, atau keduanya (contoh urtikaria generalisata, gatal, kemerahan, bengkak pada bibir/ lidah/ uvula) dan salah satu dari tanda berikut yaitu:

  • Gangguan sistem respirasi (sesak napas, mengi/ wheezing akibat bronkospasme, stridor, hipoksemia, turunnya arus puncak ekspirasi).
  • Penurunan nilai tekanan darah atau gejala yang sesuai dengan disfungsi organ target (end-organ dysfunction) misalnya sinkop, hipotonia, inkontinensia.

2. Atau, timbul 2 atau lebih dri tanda dan gejala di bawah yang timbul secara segera (dalam tempo menit hingga beberapa jam) setelah paparan alergen atau pencetus yang mungkin (likely allergen), yaitu:

  • Keterlibatan kulit, jaringan mukosa, atau keduanya (urtikaria generalisata, gatal, kemerahan, bengkak di bibir/lidah/uvula
  • Respirasi (sesak, mengi karena bronkospasme, stridor, penurunan arus puncak ekspirasi, dan hipoksemia
  • Penurunan tekanan darah atau gejala berhubungan dengan kegagalan organ target (contohnya sinkop, hipotonia, inkontinensia)
  • Gejala gastrointestinal yang persisten (kram perut, muntah)

3. Penurunan nilai tekanan darah segera setelah paparan alergen yang sudah diketahui (dalam waktu beberapa menit hingga jam) sesuai kriteria berikut:

  • Bayi dan anak: tekanan darah sistolik rendah (menurut usia) atau terjadi penurunan lebih dari 30% dari tekanan darah sistolik awal.
  • Dewasa: Tekanan darah sistolik < 90mmg atau terjadi penurunan lebih dari 30% dari tekanan darah sistolik awal.

Diagnosis Banding

Walaupun diagnosis bisa dibuat secara klinis, reaksi anafilaktik mempunyai banyak diagnosis banding. Diagnosis banding antara lain:

  • Syok karena hal lain seperti syok kardiogenik, obstruktif, distributif, ataupun hipovolemik,
  • Sinkop atau pre-sinkop,
  • Angioedema herediter,
  • Kegagalan fungsi pita suara,
  • Distress sistem respirasi karena penyakit asma, emboli paru, gagal jantung atau akibat hal lainnya,
  • Reaksi kulit karena erupsi obat, dan/ atau
  • Gangguan psikiatri contohnya panic attack.

Komplikasi

Melalui penatalaksanaan yang tepat, pasien yang menderita reaksi anafilaktik bisa sembuh san uumnya jarang memunculkan komplikasi. Komplikasi yang berkemungkinan timbul ialah iskemi miokard oleh karena hipotensi dan hipoksia, gangguan kesadaran sebagai akibat hipoksia otak, koma, dan pada kondisi berat bisa mengakibatkan kematian.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan reaksi anafilaktik perlu dilaksanakan dengan cara komprehensif berupa non medikamentosa dan medikamentosa.

1. Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik singkat dilakukan, penting untuk mengenali adanya tanda dan gejala anafilaktik sesuai dengan kriteria diagnosis yang telah disebutkan di atas. Selanjutnya, laksanakan penilaian pada airway, breathing, circulation.

  • Airway: nilai apakah ada tanda sumbatan jalan napas contohnya sesak, suara serak, stridor.
  • Breathing: nilai apakah ada sianosis, takipneu, wheezing, saturasi O 2 <92%.
  • Circulation: nilai apakah ada pucat, akral dingin dan lembab, hipotensi, pingsan.

2. Baringkan pasien pada posisi trendelenburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat. Posisi ini akan sangat membantu untuk peningkatan aliran balik vena dengan harapan timbul peningkatan tekanan darah.

3. Pasang oksigen 3-5 liter/ menit, pertimbangkan untuk melaksanakan intubasi atau trakeostomi bila dijumpai keadaan sesak berat atau ancaman henti napas.

4. Pasang akses intravena berikan cairan plasma ekspander (Dextran). Bila tidak tersedia, berikan ringer laktat atau NaCl fisiologis sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan tersebut dilanjutkan hingga tekanan darah kembali optimal dan stabil.

5. Berikan epinefrin atau adrenalin secara intramuskular (IM) pada bagan paha regio anterolateral dengan dosis 0,01 mg/ kgBB atau 0,3-0,5 mL dari larutan 1:1000. Pemberian epinefrin dapat diulangi 5-10 menit. Bila pasien tidak menunjukkan respon, berikan epinefrin secara intravena (IV) dengan dosis 0,1-0,2 mL adrenalin dilarutkan dalam 10 mL NaCl fisiologis dan diberikan secara perlahan. Hindari pemberian adrenalin subkutan karena efeknya lambat dan sulit untuk diabsorpsi.

6. Bila terjadi bronkospasme dapat diberikan aminofilin. Berikan aminofilin sebanyak 250 mg secara perlahan selama 10 menit intravena.

7. Antihistamin dan kortikosteroid ialah pilihan kedua setelah epinefrin. Oleh karena kedua obat ini kurang bermanfaat pada tingkat syok anafilaktik.

8. Laksanakan resusitasi jantung paru (RJP) bila terjadi henti jantung dan lakukan sesuai algoritma henti jantung.

Kriteria Rujukan

Bila tidak ada perbaikan setelah dilaksanakan penanganan kegawatan, rujuk pasien ke layanan sekunder.

Pencegahan

Pencegahan yang dapat dilaksanakan ialah berusaha menghindari faktor pencetus. Pada pasien yang diketahui mempunyai riwayat alergi atau atopi, hindari pemberian obat atau makanan yang bisa mengakibatkan timbulnya reaksi. Bagi tenaga medis, laksanakan edukasi dan konseling pada pasien dan keluarga tentang penyuntikan atau pemberian obat apapun karena setiap obat bisa mengakibatkan reaksi anafilaktik.

Prognosis

Prognosis reaksi anafilaktik sangat bergantung pada kecepatan terapi. Bila ditangani dengan cepat umumnya prognosisnya dubia ad bonam.

Sumber:

  • Ikatan Dokter Indonesia. Reaksi Anafilaktik. In: Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. 2014. p. 406--8.
  • Kim H, Fischer D. Anaphylaxis. Allergy, Asthma Clin Immunol. 2011;7(Suppl 1):1--7.
  • Ring J, Beyer K, Biedermann T, Bircher A, Duda D, Fischer J, et al. Guideline for acute therapy and management of anaphylaxis. Allergo J Int. 2014;23(3):96--112.
  • Mustafa SS. Anaphylaxis [Internet]. 2017 [cited 2017 Oct 29]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/135065-overview#a5 .
  • Campbell RL, Li JTC, Nicklas RA, Sadosty AT. Emergency department diagnosis and treatment of anaphylaxis: A practice parameter. Ann Allergy, Asthma Immunol. American College of Allergy, Asthma & Immunology; 2014;113(6):599--608.
  • Clinical criteria for diagnosing anaphylaxis [Internet]. 2017 [cited 2017 Oct 29]. Available from: http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/501/diagnosis/criteria.html

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun