Kota seharusnya menjadi ruang yang memeluk semua warganya. Ruang publik seperti trotoar, taman, dan halte bukan sekadar area kosong, tetapi simbol keberadaban dan inklusivitas. Namun, kenyataan di banyak kota di Indonesia menggambarkan narasi yang berbeda, bahwa ruang publik belum menjadi ruang bersama bagi semua kalangan. Trotoar, sebagai jalur vital bagi pejalan kaki, sering kali menjadi saksi bisu ketimpangan akses, kebijakan yang tak berpihak, dan pembangunan yang lebih mementingkan estetika daripada fungsionalitas.
Fenomena ini tampak jelas di berbagai kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Trotoar yang sempit, tidak rata, bahkan berlubang telah menjadi ancaman harian bagi pejalan kaki. Di banyak sudut kota, trotoar berubah fungsi menjadi tempat parkir kendaraan bermotor, lahan pedagang kaki lima, atau bahkan dibiarkan rusak tanpa perbaikan. Bagi pengguna jalan biasa, kondisi ini mungkin sekadar menyulitkan. Tetapi bagi kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, lansia, ibu hamil, hingga anak-anak situasi ini bukan hanya tidak nyaman, melainkan membahayakan. Mereka dipaksa berbagi jalan dengan kendaraan bermotor, tanpa perlindungan dan prioritas yang layak.
Contoh paling ironis adalah penggunaan guiding block atau ubin berpola khusus untuk tunanetra. Banyak kota memang telah memasangnya sebagai bagian dari tuntutan pembangunan inklusif. Namun, sayangnya, implementasinya sering kali sekadar simbolik. Guiding block kerap berujung di tiang listrik, pohon besar, atau bahkan lubang terbuka. Ini menandakan bahwa pembangunan ruang publik belum melibatkan perspektif pengguna sesungguhnya. Alih-alih menjadi jembatan akses, guiding block yang salah pasang justru menjadi jebakan berbahaya.
Kondisi ini mencerminkan absennya pendekatan inklusif dalam perencanaan kota. Dalam banyak proyek revitalisasi, estetika trotoar yang indah dengan lampu taman, bangku modern, dan ornamen seni lebih dikedepankan dibandingkan aspek keselamatan dan kemudahan akses. Padahal, ruang publik bukan ajang pamer arsitektur, melainkan hak dasar warga untuk bergerak dan merasa aman. Kota yang baik bukan hanya yang indah di foto, tapi yang bisa dilalui dengan mudah oleh kursi roda, tongkat, atau kaki kecil anak-anak.
Ketimpangan ini semakin terlihat saat melihat siapa yang paling terdampak. Di kota besar, kelompok ekonomi bawah cenderung lebih bergantung pada fasilitas publik karena tidak memiliki kendaraan pribadi. Mereka berjalan kaki ke halte, menembus gang sempit, dan mengandalkan trotoar sebagai jalur utama mobilitas. Jika fasilitas dasar itu rusak, dialihfungsikan, atau tak bisa digunakan, maka mobilitas mereka terhambat. Sementara itu, mereka yang memiliki kendaraan atau bekerja di balik meja perencanaan pembangunan sering kali tak menyadari sulitnya berjalan sejauh seratus meter saja di kota yang tak ramah kaki.
Beberapa komunitas masyarakat telah mencoba menyuarakan isu ini. Di Jakarta, komunitas pejalan kaki seperti Jakarta Pedestrian rutin mendokumentasikan kondisi trotoar yang rusak dan melaporkannya ke otoritas setempat. Mereka menggunakan media sosial untuk menekan pemerintah agar lebih peka terhadap kebutuhan warga. Demikian juga di kota-kota seperti Semarang dan Makassar, ada gerakan mahasiswa dan LSM yang melakukan audit partisipatif terhadap fasilitas publik---meninjau secara langsung apakah fasilitas yang dibangun sesuai dengan kebutuhan pengguna lapangan atau sekadar proyek tanpa jiwa.
Namun, meskipun suara itu semakin lantang, tantangan tetap besar. Banyak kebijakan tata kota masih menganut paradigma lama---di mana kendaraan bermotor menjadi raja, dan pejalan kaki adalah warga kelas dua. Jalan raya diperlebar, flyover dibangun, namun jalur pedestrian tetap diabaikan. Bahkan ketika ada anggaran untuk pembenahan trotoar, sering kali proyeknya tidak melibatkan warga terdampak atau kelompok difabel dalam tahap perencanaan. Akibatnya, hasil akhirnya jauh dari inklusif.
Persoalan ini tidak hanya soal teknis pembangunan, tapi juga soal keberpihakan. Pemerintah daerah perlu memandang ruang publik bukan sebagai hiasan kota, tetapi sebagai instrumen keadilan sosial. Anggaran pembangunan perlu diarahkan untuk memperbaiki, bukan sekadar mempercantik. Proses perencanaan juga harus melibatkan suara-suara yang selama ini diabaikan. Kelompok disabilitas bukan hanya objek penerima manfaat, tetapi subjek aktif yang harus dilibatkan sejak awal.
Tak hanya itu, masyarakat juga perlu mengubah cara pandangnya. Kita terlalu lama memandang pejalan kaki sebagai kelas bawah, padahal justru merekalah yang paling ramah lingkungan dan menyehatkan kota. Budaya berkendara berlebihan, bahkan untuk jarak dekat, telah mengurangi kualitas ruang hidup kita. Kita perlu kembali menjadikan berjalan kaki sebagai budaya kota, sebagai simbol kota yang manusiawi.
Akhirnya, ruang publik adalah cermin dari siapa kita sebagai masyarakat. Jika kita membangun trotoar yang aman, nyaman, dan bisa diakses oleh semua kalangan, itu artinya kita sedang membangun kota yang adil, setara, dan bermartabat. Sebaliknya, jika kita terus mengabaikan suara dari trotoar, maka yang kita bangun hanyalah kota indah yang tak bisa dijangkau oleh mereka yang paling membutuhkan.