Mohon tunggu...
RiuhRendahCeritaPersahabatan
RiuhRendahCeritaPersahabatan Mohon Tunggu... Freelancer - A Story-Telling

Tidak ada cerita seriuh cerita persahabatan (dan percintaan)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Palupi ingin Mati di Tanah Air (satu)

16 Oktober 2021   15:30 Diperbarui: 1 November 2021   14:12 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bag. pertama

Palupi, yang aku kenal dari cerita-cerita flamboyannya, berpulang beberapa hari yang lalu. Ia sama seperti sahabatku Alin, menikah dengan pria WNA dan menetap di luar Indonesia. Ia juga sama seperti Donita, yang memendam cita-cita sejak kecil untuk melancong ke berbagai negara dan kalau bisa menetap di salah satunya. Maka ia berseberangan betul denganku yang hanya ingin tinggal di tanah kelahiran.
 
Namun kami seperti kwartet burung pipit yang tak terpisahkan. Sampai lulus kuliah, kami masih sering bersama-sama. Baru ketika Donita memberitahu kami bahwa ia akan bekerja di Manila, kami mulai terpencar. Alin bilang, kepergian Donita ke Manila hanya sarana supaya bertemu bule di sana, berpacaran lalu menikah. Aku sendiri kurang percaya hal itu. 

 Donitamemang sejak lama ingin bertugas di Manila setelah 4 tahun bergabung dengan salah satu LSM yang bekerja untuk isu-isu lingkungan dan perempuan. Tapi katanya, kalau bertemu bule di sana, ia tidak akan menolak.

Aku kerap tertawa kalau mereka bertiga sering membicarakan kapan bisa berpasangan dengan pria asing. Apakah kawan-kawanku ini siap dengan perbedaan kultur yang kadang-kadang seperti jurang jaraknya? Tante  Nien, tak pernah kapok menasihatiku supaya berpikir masak-masak kalau mau hidup dengan pasangan yang berbeda budaya. Suaminya yang orang asing itu, di tahun pertama memintanya membiayai pernikahan dengan uang masing-masing. Sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sementara keluarga dan sahabat-sahabatnya, memandang takjub pernikahan mereka.

Aku sih pernah tanya pada Tante Nien, apakah tidak membicarakan masalah ini pada waktu mau menikah? Dia bilang, tidak perlu katanya. Kami pikir sudah tahu sama tahulah. Bahwa perempuan Indonesia itu umumnya dibiayai oleh suaminya. Sementara sang suami juga berpikir, kalau menikah ada pembagian yang jelas dalam hal pembiayaan, ha-ha-ha. Aduh, aku sering tertawa kalau Tante Nien mengulang cerita itu. Dia merasa kecele.

Tapi kini Tante Nien malah bersyukur. Setelah menikah dan harus bekerja mencari uang sendiri ia malah merasa lebih baik. Sebelum menikah keterampilan yang ia miliki hanya menjahit. Setelah menikah dan dikandang paksa suami untuk bekerja, ia akhirnya menjadi desainer dan sudah punya pelanggan setia.
 
Aku sering bilang, bagus to Tan, kamu bertemu suami yang akhirnya bikin tante mandiri. Tante Nien mengiyakan, hanya saja ia tetap mewanti-wanti sebaiknya sebelum menjalin relasi jangka panjang seperti pernikahan, segala sesuatunya harus diperjelas dulu. Seperti kata orang-orang, dua insan yang akan menikah berharap tidak akan mengubah banyak hal dari diri mereka masing-masing.

Aku mengerti. Seperti Alin, Donita, dan Palupi ..... oww, Palupi aku kenal belakangan, ketika di kampus dulu. Dia seorang cerpenis dan nasib mempertemukan kami hingga akhirnya kami jadi kwartet burung pipit itu.

Sampai di mana tadi?

O ya, mereka bertiga sudah begitu bersemangat untuk berteman, berpacaran, dan menikah dengan pria bule. Alin kemudian bertemu dengan Mark di sebuah kursus bahasa Inggris. Donita sudah mengenal Arthur sejak di Jakarta, lalu bekerja di Manila, kemudian Arthur menyusulnya setelah mereka menikah. Palupi? Bukan faktor kesengajaan sih kalau suami Tante Nien menjodohkan temannya dengan Palupi. Tadinya aku yang akan dikenalkan, tapi aku keberatan ikut ke Amerika karena tidak ingin tinggal di luar Indonesia.

Palupi tidak keberatan berkenalan dengan Don, teman suami Tante Nien. Tapi butuh dua tahun untuk sampai akhirnya mereka menikah dan pindah ke Amerika. Ketika menikah, Palupi masih aktif menulis. Maka ketika tinggal bersama suami di negeri paman Sam itu,  cerpen-cerpennya banyak bersetting Amerika.

Suatu ketika aku membaca salah satu cerpennya di majalah wanita. Tentang kepedihan seorang istri Indonesia yang menyaksikan tetangga baiknya meninggal seorang diri. Tak ada pasangan, tak ada ada keluarga, tak ada sahabat. Aku bisa merasakan kepedihan yang dalam dari goresan pena sahabatku, Palupi. Ia mungkin sudah memperkirakan hal ini. Namun entahlah. Apakah jiwanya terguncang? Seterguncang narasi akhir kisah itu. Palupi mengakhiri ceritanya dengan rasa yang sama. *

*akan dilanjutkan ke bag. Kedua

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun