Aku ingat betul, saat masih SD, aku harus ikut les matematika padahal yang kusukai adalah menggambar. Ibuku bilang, “Kamu harus lebih pintar dari Mama dulu.” Katanya itu demi masa depanku. Tapi makin ke sini, aku sadar: yang kujalani bukan masa depanku, melainkan ambisi masa lalu orang tuaku yang belum selesai.
Kita terlalu sering menjadikan anak sebagai proyek perbaikan diri kita yang gagal. Kita lupa, anak bukan cermin dari masa lalu kita. Mereka punya hak atas kehidupan yang ingin mereka pilih, bukan kehidupan yang kita paksakan.
Saat Anak Dijadikan Cermin Ambisi
Di lingkungan kita, masih sangat umum mendengar kalimat seperti.
"Dulu saya nggak bisa kuliah, kamu harus bisa."
"Saya nggak sempat jadi dokter, kamu yang harus melanjutkan mimpi itu."
Kalimat-kalimat ini terdengar seperti motivasi, tapi sering kali, sebenarnya adalah proyeksi. Ambisi orang tua yang belum tercapai lalu dititipkan pada anak tanpa pernah ditanya: apakah itu benar-benar yang mereka inginkan?
Lama-kelamaan, anak tak lagi punya ruang untuk menjadi dirinya sendiri. Hobi mereka dianggap “tidak berguna.” Kepribadian mereka dibentuk sesuai template “anak ideal” versi orang tua. Mereka didorong, didesak, dan dipoles untuk tampil sesuai harapan, bukan sesuai karakter alaminya.
Anak Bukan Kanvas Kosong
Kita sering lupa bahwa anak bukan kanvas kosong yang bebas kita lukis sesuai warna favorit kita. Mereka datang ke dunia ini dengan karakter bawaan, keunikan, dan potensi yang mungkin tidak kita mengerti. Tapi bukankah tugas orang tua adalah mengenali, bukan mengganti?
Memaksa anak menjadi “miniatur diri kita” memang terlihat seperti bentuk cinta. Tapi sebenarnya, itu adalah bentuk kontrol emosional yang dibungkus niat baik. Kita menyamaratakan “yang terbaik versi kita” sebagai “yang terbaik bagi mereka.”
Padahal belum tentu yang membuat kita bahagia akan membuat mereka bahagia. Apa yang dulu gagal di tangan kita belum tentu akan berhasil di tangan anak, apalagi jika itu bukan pilihan sadar mereka.