Mohon tunggu...
Riswandi
Riswandi Mohon Tunggu... Freelancer dan Trader Kripto

Penikmat kopi dan lilin hijau merah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Seni Berkomunikasi: Pelajaran yang Tak Pernah Ada, Tapi Selalu Dibutuhkan

30 Juni 2025   13:03 Diperbarui: 30 Juni 2025   13:03 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belajar Bicara, Belajar Mendengar Sejak Langkah Pertama (pexels.com/ujangubed hidayat)

Dari kecil kita disuruh diam waktu guru ngomong. Disuruh denger, nyatet, lalu ujian. Tapi gak pernah benar-benar diajarin gimana caranya ngomong balik dengan baik, dengan tenang, dengan jelas, dan yang paling penting: dengan jujur.

Di sekolah, komunikasi dianggap bawaan lahir. Kalau anaknya cerewet, dibilang pinter ngomong. Kalau pendiam, langsung dicap pemalu. Padahal komunikasi itu keterampilan, bukan karakter tetap. Bisa dipelajari, bisa diasah, dan harusnya... diajarkan.

Sayangnya, dari SD sampai SMA, kita lebih banyak belajar diam daripada berbicara. Lebih banyak disuruh nurut daripada menyampaikan pendapat. Gak heran kalau setelah lulus, banyak yang jago nulis caption, tapi gugup kalau disuruh presentasi. Pandai debat di kolom komentar, tapi gagal menyampaikan perasaan ke pasangan sendiri.

Ini bukan soal jago ngomong atau enggak. Ini soal kemampuan menyampaikan pikiran tanpa menyerang. Menyampaikan perasaan tanpa bikin orang bingung. Minta tolong tanpa malu. Menolak tanpa merasa bersalah. Mengkritik tanpa menjatuhkan. Dan menerima kritik tanpa langsung panas kuping.

Dan itu semua gak pernah masuk kurikulum.

Bayangkan kalau dari SMP kita diajarin gimana caranya bilang “tidak” dengan sopan. Gimana minta maaf yang tulus. Gimana menyampaikan keluhan tanpa menyulut konflik. Gimana berdiskusi tanpa harus menang. Dunia ini pasti lebih tenang. Hubungan lebih sehat. Grup WA keluarga lebih damai.

Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Kita tumbuh jadi generasi yang kikuk di dunia nyata, tapi lantang di medsos. Kita bisa ngetik 300 kata dalam hitungan menit, tapi gemetar waktu disuruh bicara di depan kelas. Kita bisa bilang “I miss you” ke story orang, tapi gak berani bilang “Aku kecewa” ke orang terdekat.

Karena gak pernah dilatih untuk jujur secara sehat. Yang diajarkan cuma: jangan marah, jangan ribut, jangan bikin masalah. Akhirnya semua emosi disimpan, semua unek-unek dipendam. Sampai meledak jadi pasif-agresif. Atau lebih buruk lagi, jadi silent treatment yang bikin hubungan makin rusak.

Sekolah bilang kita harus “bekerja sama dalam kelompok”, tapi gak pernah ngajarin cara ngobrol saat beda pendapat. Kita disuruh “presentasi” tapi tanpa pelatihan bagaimana mengatur nada suara, kontak mata, dan bahasa tubuh. Kita disuruh diskusi, tapi lebih sering diminta setuju aja biar cepet kelar.

Kita tumbuh dengan anggapan bahwa komunikasi itu soal bicara. Padahal lebih dari itu. Komunikasi adalah seni mendengar, seni memahami, seni menunda reaksi. Tapi coba lihat ruang kelas: siapa yang benar-benar diajari mendengar tanpa memotong? Siapa yang diajari bertanya, bukan cuma menjawab?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun