Mohon tunggu...
Ris Sukarma
Ris Sukarma Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pensiunan PNS

Pensiunan pegawai negeri, sekarang aktif dalam pengembangan teknologi tepat guna pengolahan air minum skala rumah tangga, membuat buku dan fotografi. Ingin berbagi dengan siapa saja dari berbagai profesi dan lintas generasi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Bung Tomo, Ahok dan Alumni 212

16 Oktober 2018   18:39 Diperbarui: 16 Oktober 2018   18:44 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
     Bung Tomo (dutaislam.com)

Kekuatan massa yang bersatu ternyata bisa sangat besar pengaruhnya. Bersatunya para pemuda kita dulu pada saat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tercatat dengan tinta emas dalam sejarah kemerdekaan kita. Betapa para pemuda yang hanya bersenjatakan bambu runcing bisa mengalahkan penjajah Belanda yang bersenjata lengkap. Seorang Bung Tomo dengan pidatonya yang menggelora dan berapi-api bisa menggerakkan semangat para pemuda untuk berperang mengusir penjajah.

Perjuangan para pemuda waktu itu didasari atas keinginan untuk merdeka, membebaskan diri dari penjajahan Belanda, yang telah menyengsarakan bangsa Indonesia selama ratusan tahun masa penjajahan, meskipun ada beberapa gelintir orang yang menganggap masa penjajahan sebagai "jaman normal".

Kekuatan massa memang tidak bisa diremehkan begitu saja. Pergerakan sosial, yang menggerakan kekuatan massa, menurut Anderson dan Parker, adalah "bentuk kelakuan dinamis pluralistis yang secara progresif membentuk struktur sesuai berjalannya waktu dan bertujuan mengubah tatanan sosial." Lundberg dan yang lainnya memberikan definisi pergerakan sosial sebagai "kumpulan sukarela orang-orang yang terikat dalam upaya menyatu untuk mengubah sikap, kelakuan dan hubungan sosial dalam masyarakat yang lebih besar." (Shelly Shah: Social Movements: Meaning, Causes, Types, Revolution and Role - Psychology Discussion).

Lalu, kekuatan apa yang menggerakkan puluhan, bahkan ratusan ribu orang untuk berkumpul di Lapangan Monas dan di jalan-jalan protokol sekitarnya yang meminta Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok untuk diadili karena disangka menista agama? Jawabnya tidak sulit, tentu saja. Karena Ahok dianggap telah melecehkan umat Islam dengan ucapannya di Kepulauan Seribu yang menuduh elit politik telah menggunakan Surat Al Maidah ayat 51 untuk keperluan politik praktis.

Sebenarnya tidak ada yang baru dengan ucapan Ahok itu, karena jauh sebelumnya dia pernah mengatakan hal yang sama sewaktu ikut pemilihan kepala daerah di Belitung Timur, bahkan ucapannya ada dalam buku biografinya berjudul: "Merubah Indonesia, the Story of Basuki Tjahaja Purnama" yang dia tulis pada tahun 2008. 

Dalam bukunya setebal 130 halaman tersebut, Ahok tidak saja prihatin dengan oknum elit yang berlindung di balik kitab suci (halaman 40), tapi dia juga menyoroti banyak hal, antara lain tentang pejabat korup (halaman 22), permainan uang dalam pemilihan kepala daerah (halaman 27), kebangsaaan dan pluralitas yang tercermin dalam lambang negara Bhinneka Tunggal Ika (halaman 47), kemunafikan dalam sumpah jabatan (halaman 70), kemiskinan (halaman 88) dan idealisme (halaman 114).

Terlepas dari berbagai kekurangannya, Ahok bisa dikatakan manusia langka, sebagai kaum minoritas di tengah masyarakat muslim yang mayoritas di Indonesia, dia berani mengangkat isu-isu sensitif dalam menegakkan kebenaran dan melawan 

ketidakadilian, meskipun dengan resiko dipenjara.

Sebenarnya, seminggu setelah dia pidato di Kepulauan Seribu itu, tuduhan penistaan agama tersebut tidak muncul ke permukaan kalau tidak diangkat ke media sosial dan menjadi viral di masyarakat. Jadi, siapapun yang mengangkat isu tersebut, dialah yang paling bertanggungjawab.

Terlepas dari tutur katanya yang cenderung kasar dan to the point, sebenarnya banyak nilai-nilai positif yang dimiliki seorang Ahok. Dan dengan niatnya yang tulus untuk membangun Jakarta, sebenarnya kita kehilangan seorang tokoh birokrat yang jarang kita temukan pada jaman sekarang ini. 

Dulu ada Ali Sadikin mantan gubernur DKI Jakarta dan Hoegeng Imam Santoso, mantan Kapolri yang memiliki integritas tinggi, juga Baharuddin Lopa sang pendekar keadilan. Tapi Tuhan menentukan lain, dengan tekanan masa yang tinggi, dan demo berjilid-jilid, akhirnya pengadilan memutuskan Ahok bersalah dan dihukum dua tahun penjara pada 9 Mei 2017, setelah sidang pengadilan berlangsung sampai sembilan belas kali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun