Fenomena caleg gagal yang stress dan melakukan tindakan-tindakan tak wajar selalu terjadi setiap musim pemilu. Ibarat tak pernah belajar dari pengalaman sebelumnya, fenomena ini selalu bermunculan. Ketika mencalonkan diri sebagai caleg, mungkin mereka hanya berpikir enaknya saja dan tidak siap menghadapi resikonya.
Selain itu, adanya tren "ada uang, ada suara" masih terus berlanjut. Meskipun di pucuk pimpinan praktek politik uang tidak terdengar, namun di kalangan bawah praktek ini sangat masif. Ibarat gunung es, yang tampak atau tertangkap melakukan politik uang hanya sedikit, padahal prakteknya sebagian besar melakukannya.
Uang masih menjadi alat ampuh untuk mendulang suara, khususnya di kalangan bawah yang berpikiran pragmatis.
Politik uang tak selalu dalam bentuk tunai, tapi bisa melalui bantuan-bantuan untuk fasilitas masyarakat, seperti karpet tempat ibadah, aspal, bahan bangunan, dll.
Pemberian bantuan tersebut tentu saja tidak gratis alias ikhlas lillahi ta'ala, harus ada imbal balik berupa suara.
Maka tak heran bila si caleg pemberi bantuan gagal melaju ke parlemen, mereka akan bertindak kalap dengan mengambil kembali bantuannya. Kejadian ini terjadi di beberapa daerah, seperti pengambilan bantuan karpet masjid di Maluku Utara atau penarikan aspal bantuan di Cimahi.
Kenyataan ini tentunya menunjukkan sesuatu yang sangat ironis, mentalitas para caleg ternyata buruk. Hal ini tidak hanya berlaku bagi yang gagal. Mereka yang berhasil belum tentu juga memiliki mentalitas yang mumpuni.
Karena telah berkorban banyak, para caleg yang berhasil melangkah ke parlemen biasanya akan cari 'balik modal' dengan menyerobot sana-sini. Maka tak heran bisa pada periode 2014-2019, hampir semua anggota DPRD Malang telribat dalam kasus korupsi dan harus mendekam di jeruji besi bersama-sama.
Semoga anggota legislatif yang terpilih di periode 2019-2024 tidak demikian, meskipun masih diragukan.