PROLOG
“Sebab sudah terbiasa dengan luka, menyembuhkannyapun aku tidak perlu berusaha”
-Rania Nala Firdaus
Cahaya shubuh masih malu-malu menyingsing, rasanya gadis itu pun baru saja memejamkan matanya beberapa menit yang lalu, tetapi gendang telinganya seakan mau pecah, retak tak terdengar hancur tanpa suara, jelas sakit tentu. Pasalnya hanya soal waktu Ibu sambungnya meneriakinya teramat kencang berkali-kali sepagi itu. “HEHH … KAU PULANG HANYA UNTUK INI?! HARUS BERAPA KALI SAYA BILANG, YANG TINGGAL DIRUMAH INI, HARUS SUDAH BEROPERASI SEJAK DINI HARI …” dia tetap berusaha tidak mendengarkan omelan selanjutnya dengan cara melingkarkan bantal guling ditelinga. Tetapi wanita paruh baya itu bukan tandingan bantal guling itu, kali ini teriakan itu ditemani gedoran pintu berulang kali, aihh bukan main iramanya sungguh tidak masuk ditelinga gadis penyuka lagu-lagu Indie ini. “SEGERA LAKUKAN YANG AKU PERINTAHKAN SEMALAM! KAKAMU PULANG HARI INI …” hah kakakku? Sejak kapan? Memangnya aku pernah ia anggap anak, gerutu gadis itu dalam hati. “iya Mah, lima menit lagiii!!” tetapi kata-kata itu yang berhasil ia teriakan dari dalam kamar.
“LIMA MENIT LIMA MENIT, TIDAK ADA! SAYA YAKIN LIMA MENITMU IALAH LIMA JAM!” mengapa orang tua itu keras kepala sekali, batinnya. “ANAK PEREMPUAN ITU HARUS RAJIN RAINA! KODRATNYA MEMBERSIHKAN RUMAH, MEMASAK, MENCUCI, ITU SUDAH TUGASMU, JANGAN MENTANG-MENTANG BERPENDIDIKAN TINGGI LANTAS KAU …” belum selesai wanita itu meneriakan omelannya pintu sudah dibuka dengan kasar oleh gadis bernama Rania yang sejak tadi diteriakinya,
“Bu, kenapa sih ibu selalu bilang kalau pekerjaan rumah itu tugasnya aku, perempuan? Siapa yang menetapkan kalau itu kodrat? Bukannya pekerjaan rumah itu soal keterampilan, harusnya kaka juga seorang lelaki bisa ibu suruh memasak, mencuci, menyapu, mengerjakan seluruh pekerjaan rumah yang ibu bebankan semua padaku itu. Ini bukan sesuatu yang hanya bisa dilakukan perempuan! Kalau semua ibu berfikiran seperti Ibu, perempuan akan terus terbebani dengan dua peran sekaligus!” tegas gadis itu berapi-api.
Wanita paruh baya itu tersenyum sinis, sembari mengangguk-angguk ringan,“Ooh … bagus yaa sekarang, kamu sudah bisa melawan perintah saya? Susah-susah disekolahkan tinggi-tinggi …”
“Susah katamu, Bu? Sejak kapan aku menyusakan Ibu? Ayah? Atau bahkan kakak yang selalu ibu banggakan itu?” Sela Rania dengan suara bergetar menahan emosi,”Mohon maaf jika aku terkesan lancang telah memotong perkataan ibu yang tidak benar itu, tapi saya tegaskan pada Ibu Damayanti bahwa SAYA TIDAK PERNAH MERASA MENYUSAHKAN SIAPAPUN SELAIN ALMARHUMAH NENEK!” dengan penuh penekanan.
Tidak seperti biasanya, pagi ini emosinya meledak tidak terkontrol, teriakan didepan pintu kamar yang dilakukan ibu sambungnya itu memang sudah menjadi rutinias setiap ia pulang libur semester. Tetapi tidak seperti pagi ini, biasanya Rania hanya menjawab omelannya itu dengan anggukan jika dirasa benar dan menggeleng jika ia tidak setuju dan tidak benar menurutnya. Sesekali menyanggah juga sudah biasa tentunya, tapi ia tidak pernah berani menaikan suaranya seperti hari ini.
“Apakah saya menyakiti hatimu Rania?” akhirnya Yanti bersuara dengan pelan, Weh akhirnya aku berhasil menurunkan volume toa ini, mungkin itu batin Rania jika suasana hatinya sedang baik-baik saja, tetapi tidak untuk kali ini,
“Iya, Mama menyakiti saya …” jawaban itu tak pernah Yanti duga sama sekali,”bahkan sejak saya berumur delapan tahun..” hening, Yanti tak pernah menyangka bahwa ia menyimpan rasa sakitnya sejak belasan tahun lalu.