Di tengah dunia modern yang serba cepat dan penuh tekanan, manusia semakin sering mencari resep kebahagiaan. Ada yang mengejar materi, ada yang sibuk menumpuk prestasi, ada juga yang mencari ketenangan lewat spiritualitas. Namun, masyarakat Bali sejak lama sudah memiliki sebuah panduan hidup yang sederhana sekaligus mendalam: Tri Hita Karana.
Filosofi ini mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa dicapai jika kita hidup dalam keseimbangan, yaitu dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam.
Apa Itu Tri Hita Karana?
Secara harfiah, Tri Hita Karana berarti "tiga penyebab kebahagiaan":
- Parahyangan menjaga hubungan harmonis dengan Tuhan melalui doa, sembahyang, dan rasa syukur. Ini diwujudkan melalui sembahyang, rasa syukur, dan pelaksanaan upacara keagamaan. Parahyangan bukan sekadar ritual, tapi juga tentang bagaimana manusia menumbuhkan kesadaran spiritual dalam kehidupan sehari-hari.
- Pawongan menjaga hubungan baik dengan sesama manusia lewat gotong royong, toleransi, dan solidaritas. Nilai-nilai seperti gotong royong, tenggang rasa, saling menghargai, dan toleransi menjadi wujud nyata dari Pawongan. Tradisi ngayah, misalnya, adalah bentuk nyata dari kebersamaan tanpa pamrih.
- Palemahan menjaga hubungan selaras dengan alam melalui pelestarian lingkungan. Manusia dianggap bagian dari alam, bukan penguasanya. Oleh karena itu, menjaga kelestarian lingkungan adalah bentuk penghormatan terhadap kehidupan itu sendiri.
Ini adalah tiga pilar kebahagiaan yang jadi fondasi kehidupan masyarakat Bali, sekaligus kearifan lokal yang bisa diterapkan oleh siapa saja, di mana saja.
Tri Hita Karana sebagai Filsafat Hidup
Tri Hita Karana bukan sekadar budaya, melainkan filsafat hidup. Ia memberikan arah dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Ketika seseorang mampu menyeimbangkan aspek spiritual, sosial, dan ekologis, ia akan menemukan harmoni dalam hidupnya. Contohnya:
- Dalam aspek spiritual (Parahyangan)
Masyarakat Bali menjalankan ritual seperti Melasti, yaitu upacara penyucian diri menjelang Hari Raya Nyepi. Ritual ini bukan hanya simbol pembersihan fisik, tetapi juga spiritual yang menyucikan pikiran dan hati agar kembali pada keseimbangan.
- Dalam aspek sosial (Pawongan)
Tradisi Ngaben dan Ngayah mengajarkan nilai kebersamaan, empati, serta tanggung jawab sosial. Semua warga turut membantu keluarga yang berduka atau gotong royong dalam kegiatan adat, tanpa memandang status.
- Dalam aspek ekologis (Palemahan)
Sistem irigasi tradisional Subak adalah contoh nyata penerapan Tri Hita Karana. Melalui musyawarah dan kebersamaan, para petani mengatur air secara adil tanpa merusak sumber daya alam. Bahkan, Nyepi pun memiliki dampak ekologis luar biasa, sehari tanpa kendaraan dan aktivitas industri berarti sehari bumi beristirahat.
Tri Hita Karana sebagai Kearifan Lokal
Kearifan lokal (local wisdom) bukan hanya warisan budaya, tetapi juga hasil adaptasi manusia terhadap lingkungannya. Tri Hita Karana adalah salah satu bentuk kearifan lokal yang berhasil bertahan ratusan tahun karena nilai-nilainya selalu relevan. Beberapa contoh penerapan Tri Hita Karana sebagai kearifan lokal:
- Theologis (Parahyangan)
1. Seren Taun: Upacara syukur atas panen, mengajarkan rasa terima kasih kepada Tuhan dan alam.
2. Calonarang: Pementasan sakral antara kebaikan dan kejahatan yang melambangkan keseimbangan spiritual.
- Sosial (Pawongan)
1. Ngayah: Kegiatan gotong royong sukarela tanpa pamrih.
2. Perang Pandan (Mekare): Tradisi Tenganan yang mengajarkan keberanian, solidaritas, dan sportivitas.
- Ekologis (Palemahan)
1. Subak: Sistem pengairan tradisional yang menjaga keseimbangan ekosistem dan keadilan sosial.
2. Nyepi: Hari hening yang secara ekologis menurunkan emisi karbon.
3. Saiban (Ngejot): Tradisi berbagi makanan kepada makhluk lain sebagai wujud kasih terhadap semua ciptaan Tuhan.
Kearifan ini bukan hanya tradisi, tapi juga solusi bagi tantangan global seperti krisis lingkungan, individualisme, dan degradasi spiritual.
Relevansi Tri Hita Karana di Era Modern
Di tengah isu global seperti krisis lingkungan, konflik sosial, dan stres kehidupan urban, Tri Hita Karana hadir sebagai solusi yang sangat relevan.
- Bagi lingkungan: Ajaran Palemahan mendorong pola hidup berkelanjutan dan ramah lingkungan.
- Bagi masyarakat: Nilai Pawongan menumbuhkan empati dan solidaritas sosial di tengah individualisme.
- Bagi spiritualitas: Nilai Parahyangan membantu manusia menemukan makna hidup yang lebih dalam daripada sekadar pencapaian material.
Tri Hita Karana adalah pengingat bahwa teknologi boleh maju, tetapi nilai kemanusiaan dan keseimbangan tetap harus dijaga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI