Mohon tunggu...
Risma Achmad
Risma Achmad Mohon Tunggu... Freelancer

Guru ekonomi yang jatuh cinta pada sastra. Buku adalah candu saya, dan menulis adalah cara saya memaknai dunia. Melalui tulisan, saya berbagi perspektif, merajut pengalaman, dan merayakan keajaiban kata-kata. Penulis dua buku antologi cerpen: "Di Balik Sebuah Kehilangan" dan "Warna-Warni Cerita di Sore Hari". Menulis bukan untuk menjadi sempurna, tapi untuk tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Filosofi Senja dan Kehilangan, Ketika Cahaya Pergi Membawa Nama Kita

12 Oktober 2025   07:23 Diperbarui: 12 Oktober 2025   07:23 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Senja di Oesapa/ dokumentasi pribadi

Ada momen dalam hidup yang mengubah segalanya, bukan karena kehadirannya, tapi justru karena ketidakhadiran kita. Ketika seseorang yang kita cintai memanggil nama kita di detik-detik terakhir, namun kita tidak ada di sisinya, dunia tiba-tiba terasa berbeda. Senja tidak lagi sekadar fenomena alam, tapi menjadi metafora paling jujur tentang kepergian, penyesalan, dan cinta yang terlambat kita sadari.

Senja sebagai Metafora Kehilangan

Setiap hari, matahari tenggelam. Prosesnya indah, penuh warna, namun tak bisa dihentikan. Kita hanya bisa menyaksikan, kadang dengan takjub, kadang dengan sedih, tapi selalu dengan kesadaran bahwa cahaya itu akan pergi.

Begitu pula dengan orang-orang yang kita cintai. Mereka hadir dalam hidup kita seperti matahari siang: terang, hangat, dan kita kira akan selalu ada. Kita terlalu sibuk menjalani hari, terlalu yakin bahwa esok masih akan datang, hingga lupa bahwa setiap kehadiran punya batas waktu. Dan ketika senja tiba, ketika cahaya mulai memudar, baru kita sadar: kita telah menganggap keabadian pada sesuatu yang fana.

Panggilan Terakhir, Suara yang Menggema Selamanya

Ketika Bude, pengganti Mama yang telah tiada, memanggil namaku di detik terakhir, aku tidak ada di sisinya. Terpisah oleh laut dan jadwal kapal yang terbatas, aku terlambat menjawab panggilan terakhir dari sosok yang tulus mencurahkan cinta untukku sejak kecil. Kini, setiap senja mengingatkan: bahwa cinta tanpa kehadiran adalah lagu tanpa suara, dan beberapa panggilan, jika tidak dijawab, akan menjadi gema penyesalan selamanya. Ini adalah cerita tentang kehilangan, jarak yang tak termaafkan, dan pembelajaran pahit bahwa waktu tidak pernah menunggu, tentang kapal yang tak sempat kutumpangi untuk menemui orang yang paling berharga.

Dalam tradisi banyak budaya, nama adalah identitas terdalam seseorang. Ketika seseorang memanggil nama kita di saat kritis, itu bukan sekadar panggilan fisik, itu adalah undangan spiritual, pengakuan cinta, dan mungkin juga permohonan terakhir untuk kehadiran. Nama kita di bibir mereka adalah doa, harapan, dan kepercayaan bahwa kita akan datang.

Tapi bagaimana jika kita tidak ada? Bagaimana jika jarak, waktu, atau keadaan memisahkan kita dari momen sakral itu?

Yang tersisa adalah gema, suara yang terus bergaung dalam jiwa kita, mengingatkan bahwa ada panggilan yang tak pernah kita jawab. Dan dalam keheningan itu, kita belajar bahwa penyesalan terdalam bukan tentang apa yang kita lakukan, tapi tentang apa yang tidak sempat kita lakukan.

Jarak Musuh Terbesar Kehadiran

Kakiku terlalu jauh untuk pulang. Kalimat ini merangkum tragedi modern: kita hidup terpisah dari orang-orang yang kita cintai. Entah karena pekerjaan, pendidikan, atau sekadar pilihan hidup, kita menciptakan Jarak fisik, emosional, temporal.

Kita berpikir jarak itu bisa dijembatani dengan teknologi. Panggilan video, pesan singkat, kiriman uang, semua itu kita anggap cukup sebagai bukti cinta. Tapi ketika seseorang sekarat, ketika napas mereka menghitung detik terakhir, tidak ada teknologi yang bisa menggantikan kehangatan tangan kita di tangan mereka.

Jarak mengajarkan kita kebenaran yang menyakitkan: bahwa cinta tanpa kehadiran adalah lagu tanpa suara, adalah puisi yang tak pernah dibacakan. Dan ketika waktu mengambil kesempatan terakhir kita untuk hadir, jarak berubah menjadi jurang yang tak bisa diseberangi, bahkan dengan semua penyesalan di dunia.

Senja sebagai Pengingat Keterbatasan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun