Ada malam ketika saya duduk sendirian, scroll media sosial tanpa tujuan, lalu menemukan sebuah podcast di kanal Suara Berkelas. Judulnya sederhana: "Tipe Kepribadian Manusia Ketika Menghadapi Uang!" bersama Prita Ghozie. Saya pikir, ah, paling cuma tips menabung biasa. Ternyata, satu setengah jam kemudian, saya merasa seperti baru saja membaca buku diary masa lalu saya sendiri, lengkap dengan kesalahan, penyesalan, dan AHA moment yang bikin merinding.
Cerita Dimulai dari Satu Pertanyaan Sederhana
"Di usia 20-an, apa prioritas keuanganmu?"
Pertanyaan pembuka itu terdengar simpel. Tapi ketika Mbak Prita mulai menjawab, saya langsung teringat diri saya lima tahun lalu: fresh graduate, gaji pertama langsung ludes untuk merayakan kebebasan finansial yang sebetulnya malah jadi awal perbudakan konsumtif.
Prita menjelaskan bahwa hidup memang dimulai dari fase bertahan, fase living. Di usia 20-an, kebanyakan orang sekadar berjuang memenuhi kebutuhan dasar. Tapi inilah perangkapnya: kita terlalu nyaman di zona bertahan sampai lupa bahwa seharusnya ada tahap berikutnya.
"Jangan biarkan porsi living menguasai seluruh penghasilan, biasakan menahan diri sejak awal, agar di usia 30-an, pengendalian diri menjadi lebih mudah"
Kalimat itu menampar. Keras. Karena saya ingat betul bagaimana dulu saya membeli barang-barang branded bukan karena kualitasnya, tapi karena ingin pamer. Aktualisasi diri katanya. Padahal mah, cuma ego yang diaktualisasi.
Kisah Empat Sahabat yang Tak Pernah Kompak soal Uang
Prita lalu membawa saya ke sebuah analisis yang brilian: ternyata manusia bisa dibagi menjadi empat tipe kepribadian finansial. Dan yang lebih menarik, saya langsung bisa mencocokkan teman-teman saya ke dalam kategori ini.
Si Rian, sang Money Avoider. Dia yang selalu bilang, "Ah santai aja, rejeki nggak akan kemana kok." Hidupnya mengalir seperti air, enak dipandang, tapi tanpa arah. Tiap kali diajak ngobrol soal investasi atau tabungan pensiun, dia cuma senyum dan bilang, "Nanti aja deh, yang penting sekarang happy."
Si Maya, sang Money Vigilance. Kebalikan total dari Rian. Maya itu pelit? Bukan. Dia cuma... terlalu hati-hati. Tipe ini sangat waspada, biasanya didorong oleh pengalaman pahit di masa lalu. Maya pernah cerita, dulu ayahnya bangkrut gara-gara ditipu teman bisnis. Sejak itu, setiap pengeluaran dia hitung ulang tiga kali. Makan di warteg pun dia bawa kalkulator (metaforis, tapi tetep).
Si Budi, sang Money Status. Ah, Budi. Teman yang selalu update story tentang sneakers limited edition, kopi 80 ribu, atau "weekend gateway" ke villa yang sebetulnya cuma dikontrak bareng lima orang lain. Tipe ini mencari validasi sosial melalui pembelian barang-barang status. Budi bukan orang jahat, dia cuma... butuh pengakuan. Dan sayangnya, dia pikir pengakuan itu bisa dibeli.
Dan saya? Saya ternyata Money Focus. Uang adalah bahan bakar hidup saya. Target, deadline, cicilan, semua jadi motivator. Prita bilang, tipe ini sering memakai cicilan sebagai goal hidup. Dan saya merasa tertohok karena sekarang saya masih nyicil dua barang sekaligus sambil mikir, "Nanti kalau ini lunas, mau beli apa ya?" lingkaran setan namanya.