Mohon tunggu...
Riski Septiawan
Riski Septiawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Silent reader yg ndableg

Selanjutnya

Tutup

Politik

PKS: Politisasilah Segalanya Sebelum Politisasi Dilarang

1 Juni 2013   10:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:42 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Politik adalah panglima", begitu salah satu frase dalam buku Lekra tak membakar buku karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan. Pernyataan politik sebagai panglima mengisyaratkan bahwasannya setiap sikap, perilaku, agenda pribadi dan kelompok dalam setiap bidang kehidupan selalu dan senantiasa mengekor kepada kepentingan politik, terlepas baik buruk kepentingan tersebut.

Cyber Army PKS, sebuah komunitas kader PKS di dunia maya, terutama yang tergabung dalam kompasiana, telah mampu menerjemahkan dengan baik makna politik sebagai panglima. Mereka telah mampu memberikan sebuah kontribusi maya (baca: nyata di dunia maya, red) dan menghiasi kanal-kanal dalam kompasiana, mulai dari yang bersifat reportase, opini, hingga yang bersifat fiksi. Jadilah, politik sastra, politik opini, politik sosial media.

Beberapa saat yang lalu, PKS mempelopori film propaganda berjudul sang murobbi, sebuah film apik mengenai kehidupan seorang alim yang istiqomah, santun, sederhana, dan penuh keteladanan. Namun seribu sayang elit PKS saya kira belum menonton filmnya sehingga bagi saya mereka belum mampu meneladaninya. Politisasi film ini "tajam keluar tetapi tumpul kedalam", hehe.

Begitu juga dengan hebohnya harlem shake ala kader PKS di youtube. Politisasi seni tari ini berupaya menarik perhatian dan simpati masyarakat, tetapi malah mengundang cemooh dari yang melihat karena yang ditampilkan oleh para penari dan lagu yang diputar tidak mencerminkan nilai-nilai luhur yang disandang PKS sebagai partai islami.

Tak mau kalah, dibidang musik PKS mengaku-ngaku bahwa nasyid adalah musik khasnya. Dalam berbagai munas, rapat, dan agendanya, PKS selalu memutar nasyid yang menggetarkan jiwa. Nasyid menjadi pion PKS dalam medan pertarungan pemasaran politik. Yang ini disebut politisasi musik.

Tak kalah heboh (sendiri) juga ketika milad PKS 21 April lalu, kader PKS juga melakukan seni pertunjukan di car free day dengan melakukan frezze mob (gerakan mematung) di HI. Mereka berupaya menjaring simpatik masyarakat yang hadir dalam car free day. Alih-alih menjadikan freeze mob menjadi pemasaran, yang terjadi malah mengolok-olok diri sendiri. Ini adalah politik seni pertunjukan.

Bahkan, sebelum masuk lobi KPK ketika hendak diperiksa, anis matta menyempatkan diri membagi buku Serial Cinta "Bagaimana Kekuatan Cinta Mengubah Kualitas Hidup dan Cita Rasa Peradaban". Fahri Hamzah juga ikut membagikan buku berjudul "Demokrasi, Transisi, Korupsi". Apa makna pembagian buku ini? Politik buku.

Yang paling heboh adalah pkspiyungan.org, web ini telah menjelma menjadi corong PKS paling terkenal di Indonesia, mengalahkan website resmi partainya sendiri yang untuk nangkring di top page pencarian google harus beriklan terlebih dulu. Namun, sayang karena tuntutan pasar yang besar melebihi kemampuan tim jurnalisnya dalam memproduksi artikel, akhirnya aksi mencomot artikel menjadi solusi. Politik media dengan hanya berbekal niat baik memang tak pernah cukup.

Benar-benar luar biasa, politik adalah panglima, sehingga jadikan setiap perilaku berorientasi dan berimplikasi politis, politisasilah segala hal selama masih bisa dipolitisasi, sebelum politik dan politisasi itu dilarang.

Kini, adakah agenda PKS tanpa politisasi?

Didepan buku Lekra, 1 juni 2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun