Ketika aksi yang terjadi dalam beberapa hari terakhir mencapai titik dimana Pemerintah telah menyatakan tindakan awalnya atas tuntutan yang rakyat telah sampaikan dalam beragam cara, tidak terkecuali melalui penyampaian dan gerakan melalui media sosial. Melalui berbagai platform media sosial kita dapat menyaksikan dan mendapatkan informasi yang terjadi dalam penyampaian aspirasi oleh rakyat yang turun aktif melalui aksi di berbagai daerah. Sampai di waktu pesan pergerakan di media sosial mulai memberikan peringatan untuk menghindari munculnya issue sara yang melibatkan suku, agama, atau ras.Â
Di tengah penyampaian aspirasi masih berjalan, topik pembicaraan di media sosial menjadi semakin meluas sebagai bentuk perluasan dari apa yang sedang ramai diperbincangkan. Semakin banyak pengguna media sosial dengan sikap dan bidangnya masing-masing mengulik dan menyampaikan berbagai hal yang masih berkaitan dengan aspirasi yang sedang disuarakan. Tidak terkecuali munculnya pembahasan terkait rasisme yang disinyalir menjadi salah satu kekhawatiran yang masih terjadi dalam proses penyampaian suara dalam negara demokrasi ini.
Mungkin terkesan terlalu berlebihan ketika di era globalisasi ini kita masih membahas issue terkait rasisme. Namun tanpa kita sadari, hal ini masih melekat dengan kita sehari-hari.Â
Ketika kita masih memiliki streotip terhadap suatu suku atau ras. Ketika menyatakan suatu lembaga atau tempat tertentu dengan pernyataan yang identik menunjukkan ras atau sukunya. Ketika dalam diskusi-diskusi ringan masih mengajukan pertanyaan yang membutuhkan jawaban terkait identitas agama atau sukunya. Ketika dalam proses administrasi di daerah, masih dibedakan berdasarkan asal usulnya. Ketika masih membuat tidak nyaman kaum minoritas untuk berpendapat atau bergerak ketika mereka berbeda. Ketika masih ada yang merasa seperti orang asing hanya karena bukan orang asli di daerah domisili. Â Ketika masih yang merasa takut di diskriminasi jika bukanlah orang asli daerah domisili. Ketika portal berita lokal masih berisikan komentar-komentar yang menyudutkan pendatang atau bukan orang lokal. Ketika masih ada sistem pelayanan yang digolongkan berdasarkan status sosialnya.
Saya pribadi pernah mengalami masa di mana suku menjadi bahan lelucon oleh sesama siswa. Dulu, saya menganggap itu hanyalah lelucon tanpa maksud menyakiti. Terlebih hanya sekedar ucapan tanpa ada diskriminasi. Namun ketika saat ini berpikir masa itu lagi, saya rasa ingin rasanya memperbaiki. Kita terkadang lupa, hal-hal kecil yang kita abaikan dan biasakan yang saat usia dini, mungkin akhirnya bisa berkembang menjadi karakteristik dan pemikiran yang semakin besar nantinya. Muncul ketakutan jika mereka yang dulunya berbicara terkait suku, ras atau agama sebagai candaan atau basa-basi, menjadi orang dewasa yang nirempati dan kurang bisa menghargai perbedaan di sekitarnya.
Kita tidak pernah tahu, ketika hal-hal kecil yang menunjukkan rasisme dianggap sebagai hal yang tidak melawan etika, akhirnya dimiliki sejak dini dan terpatri dalam dirinya hingga dewasa nanti. Saat hal-hal yang diangap normal bertemu dengan kelompok dengan pemikiran yang serupa hingga terbentuk suatu ekosistem. Ekosistem yang berjejaring semakin luas dengan identitas yang sama membentuk sebuah lingkungan dan menjadi kebiasaan. Dan akhirnya terbawa terus dalam arusnya dan menjadi sebuah budaya.
Karakteristik manusia cenderung lahir sejak bagaimana dia di latih dan di didik oleh lingkungannya. Sehingga ketika dewasa  ini kita masih melihat orang dengan cara bersikap dan berbicara dengan masih membeda-bedakan, besar kemungkinan karena begitulah dia terbiasa oleh  hal tersebut sejak usia dini. Entah sebagai pelaku rasisme atau bahkan korban rasisme itu sendiri. Karena tidak semua orang memilik hati dan penerimaan yang cukup baik saat mendapatkan diskriminasi sehingga menjadi trauma atau rasa dendam yang bisa menjadi bentuk perlawanannya ketika dewasa nanti.
Di sinilah kita harusnya bisa lebih berani bersikap dan membatasi diri. Tentang bagaimana seharusnya diskriminasi dan rasisme menjadi salah satu karakteristik moral yang diajarkan sejak dini sebagai bentuk pencegahan dari lahirnya orang-orang yang dengan pemikiran yang nirempati. Karena tanpa kita sadari, Â hal-hal yang bahkan dianggap basa-basi bisa menyakiti hati yang mendengarnya, sikap atau tindakan yang mendiskriminasi menjadi ketakutan untuk sesorang bisa bersuara.Â
Rasisme memang cenderung tidak terlihat secara nyata tapi percayalah sikap tersebut mampu menghancurkan lingkungan sekitarnya. Saat kita masih berpikir dan bertindak dengan mengotakkan hal-hal tertentu berlandaskan ras, suku, asal usul atau agamanya, kita berarti masih masuk dalam golongannya. Ketika batasan bentuk rasisme masih setipis benang yang rentan untuk kita sentuh tanpa kita sadari, di sinilah kita harus banyak berbenah diri dan berhati-hati tentang bagaimana kita berbicara,bersikap dan membawa diri. Semua hal yang besar dimulai dari hal kecil yang dekat dengan diri kita sehari-hari. Dimulai dari lingkungan keluarga kita sendiri dan meluas sampai lingkup sosial yang lebih luas lagi. Hal yang mampu kita benahi dan hindari saat ini, kelak menjadi bekal dalam membentuk lingkungan atau budaya yang lebih baik lagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI