Mohon tunggu...
Riska Khairunnisa Sinaga
Riska Khairunnisa Sinaga Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Luka yang Tak Terlihat

3 Oktober 2025   16:20 Diperbarui: 3 Oktober 2025   16:19 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Matahari pagi di kota kecil itu terasa hangat, tetapi tidak bagi Ana. Gadis berusia tujuh belas tahun itu hanya bisa duduk termenung di pojok meja makan, memainkan sendok yang bahkan tak menyentuh bubur di mangkuknya. Di depan matanya, sang ibu sedang sibuk mencuci piring dengan pandangan kosong, seolah pikirannya melayang ke tempat lain. Sementara itu, suara keras dari ruang tamu memecah keheningan pagi. Ayah tiri Ana sedang menonton televisi dengan suara yang terlalu kencang, seperti biasa.

"Ana, bangunin adikmu. Jangan terlambat sekolah," suara ibunya terdengar lemah, hampir tak berdaya.

Ana mengangguk pelan dan berdiri, berjalan menuju kamar adiknya yang masih tertidur. Adiknya yang baru berusia delapan tahun itu adalah satu-satunya alasan Ana bertahan sejauh ini. Ia tak ingin adiknya mengalami hal yang lebih buruk dari apa yang sudah ia alami.

Di sekolah, hidup Ana tak jauh lebih baik. Teman-temannya sering mengolok-oloknya hanya karena ia pendiam dan selalu menyendiri. "Eh, itu si Ana, si aneh! Hati-hati, nanti dia tiba-tiba nangis lagi," salah satu teman sekelasnya berbisik keras, memastikan Ana mendengar ejekannya.

Ana menunduk, menggigit bibirnya kuat-kuat agar tidak menangis. Ia tahu, menangis hanya akan membuatnya semakin diolok-olok. Ia berjalan cepat menuju kelasnya, berharap waktu sekolah segera berlalu.

Namun, di tengah semua kekacauan itu, ada satu orang yang membuatnya merasa sedikit lebih baik---Ria. Ria adalah teman sebangkunya sejak kelas satu SMA. Meski tak banyak bicara, Ria selalu ada untuk mendengarkan.

"Ana, kamu nggak apa-apa?" tanya Ria saat melihat wajah Ana yang pucat.

Ana menggeleng, mencoba tersenyum meski matanya masih basah. "Aku nggak apa-apa, kok," jawabnya pelan.

Tetapi Ria tahu Ana berbohong. Ia tahu ada sesuatu yang berat yang Ana simpan sendiri, tetapi ia tidak pernah memaksa Ana untuk bercerita.

Di rumah, keadaan semakin memburuk. Ayah tirinya semakin sering mabuk-mabukan, membentak ibunya tanpa alasan, bahkan tak jarang memecahkan barang-barang di rumah. Ana hanya bisa memeluk adiknya di kamar, menutup telinga mereka dengan bantal agar tidak mendengar teriakan dari ruang tamu.

"Kenapa hidup kita seperti ini, Kak?" tanya adiknya suatu malam, dengan suara yang bergetar.

Ana tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa memeluk adiknya lebih erat, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir.

***

Keesokan harinya, Ana mengumpulkan keberanian untuk menemui Bu Nurul, wali kelasnya. Ia sudah terlalu lama menyimpan semua ini sendirian. Baginya, Bu Nurul adalah guru yang baik, seseorang yang pernah berkata bahwa ia ingin murid-muridnya merasa nyaman untuk berbicara.

Ketika jam istirahat tiba, Ana mengetuk pintu ruang guru dengan tangan gemetar. "Masuk," suara Bu Nurul terdengar dari dalam.

Ana membuka pintu perlahan dan melangkah masuk. "Bu, saya boleh bicara sebentar?" tanyanya dengan suara hampir berbisik.

"Silakan, Ana. Ada apa?" Bu Nurul tersenyum ramah, tetapi senyumnya membuat Ana semakin gugup. Kata-kata yang sudah ia susun di kepalanya tiba-tiba berhamburan.

"Saya... saya mau cerita tentang rumah saya, Bu," kata Ana akhirnya.

Bu Nurul mengangguk, meletakkan pena di tangannya. "Ceritakan saja, Ana. Ibu mendengarkan."

Ana mulai bercerita, tentang ayah tirinya yang sering mabuk, tentang ibu yang selalu menjadi korban kekerasan, dan tentang bagaimana ia harus melindungi adiknya setiap malam. Kata-katanya keluar terbata-bata, tetapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin seseorang mendengarkan dan percaya padanya.

Namun, wajah Bu Nurul berubah. Senyumnya memudar, digantikan oleh ekspresi yang sulit dijelaskan. "Ana, kamu yakin? Jangan-jangan kamu cuma salah paham dengan ayah tirimu?"

Ana terdiam. Hatinya seperti dihantam palu. "Tapi, Bu, ini benar... Saya melihat sendiri," katanya dengan suara bergetar.

Bu Nurul menghela napas panjang. "Ana, mungkin kamu hanya merasa stres. Cobalah untuk lebih terbuka dengan keluargamu. Kalau kamu terus berpikir negatif seperti ini, itu tidak akan menyelesaikan apa-apa."

Ana menunduk, merasa dadanya sesak. Ia tidak menyangka bahwa orang dewasa yang ia percaya justru akan meremehkan ceritanya. Dengan suara pelan, ia hanya bisa berkata, "Iya, Bu. Maaf mengganggu waktunya."

Ana keluar dari ruang guru dengan langkah berat. Dunia yang sudah terasa gelap kini semakin gelap.

Beberapa hari kemudian, Ana mencoba cara lain. Ia menemui guru Bimbingan Konseling (BK), berharap setidaknya mereka akan lebih memahami situasinya. Guru BK, seorang pria paruh baya bernama Pak Arif, mempersilakannya duduk.

"Ana, apa yang bisa saya bantu?" tanyanya ramah.

Ana menceritakan segalanya lagi, kali ini dengan lebih terperinci. Ia berharap dengan penjelasan yang lebih jelas, Pak Arif akan percaya.

Namun, tanggapan Pak Arif tidak jauh berbeda. "Ana, sepertinya kamu terlalu banyak menonton drama atau membaca cerita sedih, ya? Kadang-kadang, imajinasi kita bisa memengaruhi cara kita melihat dunia nyata."

"Tapi Pak, ini bukan imajinasi!" Ana hampir menangis. "Saya melihat sendiri. Saya---"

Pak Arif memotongnya. "Ana, kalau kamu merasa ada masalah, kita bisa bicara dengan orang tuamu. Tapi saya rasa, mereka pasti ingin yang terbaik untukmu."

Ana tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia merasa seperti berbicara dengan tembok.

Malam itu, di rumah, Ana duduk di lantai kamarnya, memeluk lututnya sambil menangis. Ia merasa tidak ada seorang pun di dunia ini yang peduli padanya. Bahkan orang dewasa yang seharusnya melindungi anak-anak seperti dirinya pun tidak percaya.

"Kak, kamu kenapa menangis?" tanya adiknya, yang sudah berdiri di pintu kamar.

Ana buru-buru menghapus air matanya. "Nggak apa-apa. Kakak cuma capek."

Adiknya hanya mengangguk, lalu kembali ke kamarnya.

Ana mengambil buku catatan kecil dari bawah bantalnya. Buku itu adalah satu-satunya tempat di mana ia bisa menuliskan semua perasaannya. Dengan tangan gemetar, ia mulai menulis:

"Kenapa hidupku seperti ini? Aku sudah mencoba minta tolong, tetapi tidak ada yang mendengar. Tidak ada yang percaya. Apa aku memang seharusnya hidup seperti ini? Apa aku salah lahir di dunia ini?"

Setelah selesai menulis, Ana menutup buku itu dan memeluknya erat. Ia tahu bahwa satu-satunya orang yang benar-benar mendengarkannya saat ini hanyalah kertas dan tinta.

***

Hari itu, hujan turun deras di kota kecil tempat Ana tinggal. Langit kelabu mencerminkan suasana hatinya yang rapuh. Sepulang sekolah, Ana dan Ria berjalan bersama di bawah satu payung yang Ria bawa. Hujan membuat langkah mereka lambat, tetapi Ana tidak keberatan. Setidaknya, hujan menyembunyikan air mata yang mulai mengalir di pipinya.

"Ana, kamu kenapa? Sepertinya kamu banyak pikiran akhir-akhir ini," tanya Ria sambil melirik sahabatnya yang terus menunduk.

Ana tidak menjawab. Ia hanya mengeratkan pegangannya pada tali tasnya. Baginya, kata-kata sudah terlalu sulit untuk diungkapkan.

"Kamu tahu, kan, aku selalu ada kalau kamu mau cerita," lanjut Ria dengan nada lembut.

Langkah Ana terhenti. Ia memandang Ria dengan mata yang penuh luka, seolah-olah semua kesakitannya akan meledak kapan saja. "Ria... aku nggak tahu harus apa lagi," katanya akhirnya, suaranya bergetar.

Ria memegang bahu Ana, menuntunnya ke sebuah bangku kayu di bawah pohon besar yang meskipun basah, masih sedikit terlindung dari hujan. Mereka duduk berdua, mendengarkan suara hujan yang jatuh di atas daun.

"Aku capek, Ria. Aku capek banget. Di rumah, aku nggak pernah merasa aman. Di sekolah, aku cuma jadi bahan olokan. Aku udah coba cerita ke Bu Nurul, ke Pak Arif, tapi mereka nggak percaya. Mereka pikir aku cuma melebih-lebihkan." Ana mulai menangis, kali ini ia tidak mencoba menahannya.

Ria mendengarkan dengan serius, tanpa memotong cerita Ana. Ia tahu, ini adalah momen di mana Ana benar-benar membuka dirinya.

"Ayah tiriku... dia nggak cuma bikin hidupku susah. Dia juga sering mukulin ibu. Aku nggak tahu lagi harus gimana. Aku cuma takut suatu hari nanti dia akan nyakitin adikku juga. Tapi nggak ada yang percaya sama aku, Ria. Nggak ada."

Ria menggenggam tangan Ana erat-erat. "Ana, aku percaya sama kamu. Aku percaya semua yang kamu bilang."

Mendengar kata-kata itu, Ana merasa seperti sebuah beban besar terangkat dari pundaknya. Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang benar-benar percaya padanya, tanpa keraguan.

"Terima kasih, Ria," kata Ana pelan.

Ria tersenyum kecil. "Ana, aku mungkin nggak bisa ngubah keadaanmu, tapi aku selalu ada buat kamu. Kamu nggak sendirian. Kamu tahu itu, kan?"

Ana mengangguk, meskipun air matanya masih mengalir. Dalam hatinya, ia bersyukur memiliki sahabat seperti Ria.

Beberapa hari kemudian, setelah hujan itu, Ana dan Ria duduk di kantin sekolah. Ria mencoba mengalihkan perhatian Ana dengan cerita-cerita lucu dari masa kecilnya.

"Aku waktu kecil suka banget main sepeda. Tapi aku nggak pernah bisa naik sepeda tanpa roda bantu. Ayahku dulu yang selalu bantuin aku, tapi pas dia meninggal, aku jadi nggak punya siapa-siapa yang ngajarin," cerita Ria sambil tersenyum tipis.

Ana menatap Ria dengan penuh empati. "Kamu pasti kangen sama ayahmu, ya?"

Ria mengangguk. "Iya, tapi aku udah terbiasa. Aku cuma percaya, meskipun dia nggak ada di sini, dia pasti bangga sama aku di mana pun dia sekarang."

Ana terdiam, memikirkan kata-kata Ria. Ia merasa kagum pada sahabatnya yang meskipun kehilangan banyak hal, tetap bisa bertahan. Ria adalah cerminan kekuatan yang ingin Ana miliki.

Malam itu, di rumah, Ana duduk di dekat jendela kamarnya, memandangi bulan yang bersinar redup di langit malam. Ia memikirkan kata-kata Ria, tentang tidak pernah menyerah meskipun hidup terasa sangat berat.

Ana tahu, ia tidak bisa terus seperti ini. Ia harus melakukan sesuatu, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk ibunya dan adiknya. Ia tidak ingin mereka terus hidup dalam penderitaan.

Dengan hati yang penuh tekad, Ana mengambil buku catatannya lagi dan mulai menulis rencana. Ia tahu langkah ini tidak akan mudah, tetapi ia harus mencoba.

***

Malam itu, suasana di rumah Ana kembali dipenuhi teriakan dan suara barang yang pecah. Ayah tirinya baru pulang dalam keadaan mabuk, seperti biasa. Ia membanting pintu, memarahi ibu Ana hanya karena makan malam belum siap. Ana dan adiknya bersembunyi di kamar, memeluk satu sama lain dengan tubuh gemetar.

"Kak, aku takut," bisik adik Ana, air matanya mengalir.

Ana mengepalkan tangannya. Ia tidak bisa lagi hanya diam dan menonton semua ini terjadi. Jika ia terus membiarkan keadaan seperti ini, keluarganya akan hancur. Ia harus bertindak.

Keesokan paginya, Ana menunggu waktu yang tepat untuk berbicara dengan ibunya. Setelah ayah tirinya pergi bekerja, ia mendekati ibunya yang sedang mencuci pakaian di belakang rumah. Wajah ibunya terlihat lelah, dengan lingkaran hitam di bawah matanya.

"Ibu," panggil Ana pelan.

Ibunya menoleh, tetapi tidak menjawab. Ia hanya terus mencuci, seolah tidak ingin terlibat dalam percakapan.

Ana mengambil napas dalam-dalam. "Ibu, kita nggak bisa terus hidup seperti ini. Kita harus pergi dari sini. Aku nggak mau ibu terus disakitin, aku nggak mau adik terus ketakutan setiap malam."

Ibunya berhenti mencuci, tetapi tetap tidak menatap Ana. "Ana, kamu nggak tahu gimana sulitnya hidup tanpa suami. Kalau ibu cerai, kita mau tinggal di mana? Mau makan apa?" jawabnya dengan suara pelan, tetapi penuh kepasrahan.

"Ibu, aku tahu itu berat. Tapi kita nggak akan pernah bahagia kalau tetap tinggal di sini. Aku janji, aku akan bantu ibu. Aku akan kerja sambilan, apa pun yang bisa aku lakukan. Yang penting kita bebas," kata Ana dengan nada tegas.

Ibunya terdiam lama. Air matanya mulai mengalir, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ana tahu, ini adalah tanda bahwa ibunya mulai mempertimbangkan kata-katanya.

Hari-hari berikutnya, Ana mulai mencari cara untuk mengumpulkan bukti kekerasan yang dilakukan ayah tirinya. Ia merekam suara teriakan dan pertengkaran di rumah, memotret barang-barang yang rusak, dan mencatat semua kejadian dengan detail di buku catatannya. Ia juga mulai mencari informasi tentang tempat perlindungan bagi korban kekerasan rumah tangga.

Sementara itu, ia terus berbicara dengan Ria. Ria selalu mendukungnya, memberikan semangat setiap kali Ana mulai merasa ragu.

"Kamu pasti bisa, Ana. Aku tahu kamu kuat," kata Ria suatu hari saat mereka duduk di taman sekolah.

Ana tersenyum kecil. "Terima kasih, Ria. Kalau bukan karena kamu, mungkin aku udah menyerah."

Suatu hari, keadaan di rumah mencapai puncaknya. Ayah tirinya pulang dalam keadaan lebih mabuk dari biasanya. Ia marah besar kepada ibu Ana hanya karena ada piring yang pecah di dapur. Kali ini, ia tidak hanya berteriak, tetapi juga mulai memukul. Ana yang melihat kejadian itu langsung berlari keluar dari kamar dan mencoba melindungi ibunya.

"Ayah, hentikan! Jangan sakiti ibu!" teriak Ana.

Namun, ayah tirinya malah mendorong Ana hingga terjatuh. Adiknya menangis histeris di sudut ruangan. Ana tahu, ia tidak bisa membiarkan ini terus terjadi. Dengan tangan gemetar, ia mengambil ponselnya dan menelepon nomor darurat yang sudah ia simpan.

"Polisi? Tolong, ayah saya sedang melakukan kekerasan di rumah!" katanya dengan suara gemetar.

Beberapa menit kemudian, suara sirene terdengar di luar rumah. Polisi masuk dan menahan ayah tirinya yang masih dalam keadaan mabuk. Ana memberikan semua bukti yang sudah ia kumpulkan: rekaman, foto, dan catatan kejadian. Polisi membawa ayah tirinya pergi, sementara Ana memeluk ibunya yang menangis.

"Ibu, ini saatnya kita mulai hidup baru," kata Ana sambil menggenggam tangan ibunya.

Beberapa bulan kemudian, hidup Ana dan keluarganya mulai membaik. Ibunya akhirnya menggugat cerai, dan mereka pindah ke rumah kecil di pinggiran kota. Ana bekerja paruh waktu di sebuah toko buku untuk membantu keuangan keluarga, sementara ibunya mulai belajar menjahit untuk membuka usaha kecil.

Di sekolah, Ana mulai merasa lebih percaya diri. Meskipun masih ada beberapa teman yang suka mengolok-oloknya, ia tidak peduli lagi. Ia tahu bahwa ia lebih kuat dari apa pun yang mereka katakan.

Ria tetap menjadi sahabat setianya. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, berbicara tentang mimpi-mimpi mereka di masa depan.

"Kamu tahu, Ria, aku pengen jadi psikolog suatu hari nanti," kata Ana suatu sore. "Aku pengen bantu orang-orang yang mengalami hal yang sama seperti aku, supaya mereka tahu mereka nggak sendirian."

Ria tersenyum. "Aku yakin kamu bisa, Ana. Kamu udah ngelawan banyak hal, dan kamu berhasil."

Ana tersenyum kembali. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa ada harapan. Luka-luka yang ia alami mungkin tidak akan pernah hilang sepenuhnya, tetapi ia tahu bahwa ia punya kekuatan untuk terus melangkah ke depan. [*]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun