"Aku waktu kecil suka banget main sepeda. Tapi aku nggak pernah bisa naik sepeda tanpa roda bantu. Ayahku dulu yang selalu bantuin aku, tapi pas dia meninggal, aku jadi nggak punya siapa-siapa yang ngajarin," cerita Ria sambil tersenyum tipis.
Ana menatap Ria dengan penuh empati. "Kamu pasti kangen sama ayahmu, ya?"
Ria mengangguk. "Iya, tapi aku udah terbiasa. Aku cuma percaya, meskipun dia nggak ada di sini, dia pasti bangga sama aku di mana pun dia sekarang."
Ana terdiam, memikirkan kata-kata Ria. Ia merasa kagum pada sahabatnya yang meskipun kehilangan banyak hal, tetap bisa bertahan. Ria adalah cerminan kekuatan yang ingin Ana miliki.
Malam itu, di rumah, Ana duduk di dekat jendela kamarnya, memandangi bulan yang bersinar redup di langit malam. Ia memikirkan kata-kata Ria, tentang tidak pernah menyerah meskipun hidup terasa sangat berat.
Ana tahu, ia tidak bisa terus seperti ini. Ia harus melakukan sesuatu, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk ibunya dan adiknya. Ia tidak ingin mereka terus hidup dalam penderitaan.
Dengan hati yang penuh tekad, Ana mengambil buku catatannya lagi dan mulai menulis rencana. Ia tahu langkah ini tidak akan mudah, tetapi ia harus mencoba.
***
Malam itu, suasana di rumah Ana kembali dipenuhi teriakan dan suara barang yang pecah. Ayah tirinya baru pulang dalam keadaan mabuk, seperti biasa. Ia membanting pintu, memarahi ibu Ana hanya karena makan malam belum siap. Ana dan adiknya bersembunyi di kamar, memeluk satu sama lain dengan tubuh gemetar.
"Kak, aku takut," bisik adik Ana, air matanya mengalir.
Ana mengepalkan tangannya. Ia tidak bisa lagi hanya diam dan menonton semua ini terjadi. Jika ia terus membiarkan keadaan seperti ini, keluarganya akan hancur. Ia harus bertindak.