Mohon tunggu...
Risfa Anjelli
Risfa Anjelli Mohon Tunggu... Founder at Association of International Relations Societies, University of Riau

Risfa is an International Relations student specializing in International Political Economy at the University of Riau. Additionally, she is a young politician and the founder of the Association of International Relations Societies, Indonesian Polyglot Official and Nusantara Sahabat Agro

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Respon Film Dokumenter: Sexy Killer

21 Mei 2025   15:38 Diperbarui: 21 Mei 2025   15:38 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dosen Pengampu: Wada Palamani, S.IP., M.Han

Oleh: Risfa Anjelli

Email: -

Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Riau

Film dokumenter yang berjudul “Sexy Killer” menceritakan tentang bagaimana pabrik-pabrik tambang batu bara beroperasi dan dampaknya bagi masyarakat serta bagaimana pemerintah menyikapi perilaku elit bisnis tambang tersebut yang telah melanggar aturan. Film ini erat kaitannya dengan etika dan hukum dalam ekonomi dan bisnis. Etika adalah moral atau nilai-nilai yang berkaitan dengan benar atau salah. Etika bisa menjadi lahirnya sebuah hukum, begitu juga sebaliknya. Kemudian, secara sederhana, hukum dapat diartikan sebagai sebuah aturan tertulis yang dibuat oleh pemerintah untuk ditaati oleh seluruh warga negaranya. Dalam konteks ekonomi dan bisnis, etika merujuk pada bagaimana aktivitas ekonomi bersifat adil terhadap semua orang dalam mengakses sumber sumber daya alam. Kemudian, dalam berbisnis juga harus bersifat adil dan bertanggungjawab terhadap sumber daya alam, lingkungan, pekerja, dan masyarakat lokal.

Dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, disebutkan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Pasal ini seharusnya mengingatkan bahwa sumber daya alam itu dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakatnya, karena kesejahteraan masyarakat adalah tugas wajib negara. Sumber daya alam, dikuasai oleh negara, bukan pemerintah, elit politik tertentu, atau bahkan elit bisnis, tanpa melihat masyarakat lokal. Dalam praktiknya, masyarakat lokal hanya menunggu serpihan-serpihan batu bara atau emas untuk dijual guna memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Bahkan, lebih kejam dari itu, masyarakat lokal sama sekali tidak mendapatkan akses atas sumber daya alam yang ada di sekitar tempat tinggalnya, dan justru tanah mereka dirampas untuk operasional pabrik tambang, kesehatan mereka terancam karena adanya partikel-partikel logam di udara yang menyebabkan penyakit kanker paru-paru, air bersih sulit didapatkan, bahkan para petani tidak dapat menanam tanaman mereka karena tanah yang tercemar dan udara yang tercemar logam berat membuat tanaman tidak bisa hidup. Kemudian, siapa yang mendapatkan keuntungan? Yang mendapatkan keuntungan adalah para elit bisnis di negara pinggiran, elit politik di negara pinggiran, dan juga negara pusat. Keuntungan mengalir di tangan mereka, meskipun keuntungan terbesar tetap berada di tangan negara pusat.

Film dokumenter tersebut telah memaparkan dengan jelas, bahwa pemerintahan Indonesia dan elit bisnis di Indonesia sangat tidak beretika dan mematuhi hukum. Model ekonomi ekstraksi di Indonesia hanya menguntungkan elit politik dan bisnis saja, dan yang menanggung dampaknya adalah rakyat lokal. Seperti yang telah dipaparkan terkait usaha tambang batu bara di wilayah Kalimantan. Tambang batu bara tersebut tidak jauh lokasinya dari sekolah dan pemukiman penduduk. Pemukiman menjadi terasa gersang karena hutan-hutan ditebang untuk keperluan operasional pabrik, polusi udara yang mengandung zat berbahaya mengancam kesehatan masyarakat dan bahkan memakan korban jiwa, tanaman padi tidak subur bahkan layu dan daunnya menguning akibat lumpur dari aktivitas tambang batu bara, rumah-rumah hancur dan tanah-tanah amblas, serta banyaknya korban jiwa karena tanah yang digeruk untuk diambil batu baranya tidak direklamasi, sehingga menjadi danau yang dalam dan banyak korban tenggelam.

Dalam menyikapi kondisi tersebut, penulis kecewa dengan tanggapan pemerintah yang menyepelekan dampak-dampak negatif yang dialami rakyatnya akibat tambang batu bara. Mereka menganggap bahwa korban jiwa akibat tenggelam di danau bekas tambang batu bara itu adalah sebuah kecelakaan biasa. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak bertanggungjawab dan telah melanggar aturan dan etika. Padahal, mereka sudah mendapatkan kekayaan dari situ, dan telah mengorbankan rakyat, tetapi, hatinya, pikirannya, dan penglihatannya buta.

Kita tahu bahwa tantangan global saat ini salah satunya adalah perubahan iklim. Perubahan iklim terjadi karena meningkatnya emisi karbon yang terakumulasi di udara dan merusak lapisan ozon sehingga meningkatkan suhu di bumi. Solusi yang ditawarkan untuk permasalahan global ini salah satunya adalah pengurangan emisi karbon melalui transisi energi. Transisi energi yaitu mengubah penggunaan energi fosil menjadi energi terbarukan. Setiap negara dituntut untuk mencapai transisi energi tersebut. Namun, tantangan yang dihadapi di masing-masing negara dalam mencapai transisi energi berbeda-beda. Negara maju bisa saja mencapai transisi energi dalam waktu dekat, namun tidak bagi negara berkembang seperti salah satunya Indonesia. Indonesia adalah negara yang paling berdampak dari transisi energi ini. Pasalnya, Indonesia menjadi negara penyuplai bahan baku transisi energi yang diambil dari menggali logam dan bahan mineral. Tentu saja ini merusak lingkungan di Indonesia, dan rakyat rentan menjadi korban dari tambang ekstraksi ini untuk keperluan transisi energi. Kondisi Indonesia sebagai penyuplai bahan mentah juga diperparah dengan elit politik dan bisnis di Indonesia yang hanya memikirkan keuntungan untuk mereka tanpa melihat bahwa rakyat mereka itu menderita akibat apa yang telah mereka lakukan.

Kondisi ini diciptakan oleh kapitalisme global. Sistem kapitalisme global telah mencegah rakyat lemah untuk bersuara, bahkan mereka mengabaikan pendapat rakyat dalam pengambilan keputusan ekonomi, sehingga setiap keputusan ekonomi tidak berpihak kepada mereka. Biasanya, pabrik tambang didirikan di daerah transmigrasi, atau daerah terpencil karena mengandung sumber daya alam yang melimpah. Perizinan pendirian pabrik tersebut didapatkan dari perangkat desa setempat atau pemerintah daerah. Namun, kerap sekali dalam proses pemutusan pendirian pabrik, tidak melibatkan suara rakyat, sehingga rakyat terkejut bahwa tiba-tiba sudah ada proyek pabrik ekstraksi di tempat tinggal mereka. Akhirnya, rakyat melakukan aksi demonstrasi, selain karena mereka menganggap bahwa lngkungan mereka terancam akibat pabrik ini, mereka juga tidak diperkerjakan dalam pengelolaan batu bara. Kerap sekali pabrik ekstraksi ini mengambil pekerja dari luar, sedangkan pekerja dari rakyat lokal hanya diambil beberapa persen saja.

Ini telah melanggar etika utilitarianisme yang menganggap bahwa Tindakan dianggap benar jika menghasilkan manfaat yang besar untuk jumlah orang yang banyak. Namun, dalam film dokumenter “Sexy Killers” menunjukkan bahwa kebijakan energi fosil di Indonesia lebih menguntungkan segelintir elit politik dan bisnis, sementara masyarakat luas, khususnya di daerah tambang Kalimantan Timur, menderita akibat kerusakan lingkungan dan kehilangan mata pencaharian. Seharusnya, distribusi sumber daya alam harus adil untuk mendukung kelompok rentan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun