Mohon tunggu...
Risfa Anjelli
Risfa Anjelli Mohon Tunggu... Founder at Association of International Relations Societies, University of Riau

Risfa is an International Relations student specializing in International Political Economy at the University of Riau. Additionally, she is a young politician and the founder of the Association of International Relations Societies, Indonesian Polyglot Official and Nusantara Sahabat Agro

Selanjutnya

Tutup

Politik

Etika, Hukum, Bisnis, dan Ekonomi: Berjalan Bersama Tetapi Tidak Sejalan?

27 April 2025   19:05 Diperbarui: 27 April 2025   19:05 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam mata kuliah Etika dan Hukum dalam Bisnis dan Ekonomi, jurusan Hubungan Internasional. Dosen penulis memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk dijawab oleh mahasiswanya sebagai salah satu tugas Ujian Tengah Semester. Salah satu pertanyaan yang beliau tulis adalah: 

Etika, hukum, dan ekonomi memiliki dimensi yang saling terkait dan penting dalam kehidupan masyarakat. Etika memberikan landasan moral untuk tindakan, sementara hukum memberikan aturan dan mekanisme untuk mengaturnya, dan ekonomi mengatur bagaimana sumber daya dialokasikan dan digunakan. Berikan pendapat anda apakah etika, hukum dan ekonomi dalam praktiknya bisa berbeda ? apabila ada berikan contoh !

Pertanyaan tersebut sangat menarik untuk dijawab, dan ini sangat berkaitan dengan teori imperialisme struktural yang saya tulis di kompasiana beberapa waktu silam. 

Etika, hukum, dan ekonomi, dalam praktinya sering kali tidak sesuai satu sama lain atau sama-sama berjalan, tetapi tidak sejalan karena adanya perbedaan kepentingan antara pelaku ekonomi, hukum, dan etika. Perbedaan praktik juga bisa disebabkan oleh adanya kelemahan dalam sistem hukum atau struktur ekonomi yang timpang.

Etika berasal dari Bahasa Yunani Kuno yaitu ‘ethos’ yang berarti kebiasaan atau kehendak baik yang bersifat tetap. Konsep etika dipercaya muncul tahun 570 hingga 496 masehi di kalangan murid Pythagoras. Etika dapat diartikan sebagai moral yang berkaitan dengan benar atau salah, baik atau buruk dalam hal berperilaku. Dalam konteks ekonomi, etika merujuk pada seperangkat prinsip moral yang mengatur individu, kelompok, organisasi, atau perusahaan dalam menjalankan kegiatan ekonomi. Etika dalam konteks ekonomi akan muncul pertanyan-pertanyaan mengenai apa yang dianggap benar atau salah dalam hal keputusan ekonomi, distribusi sumber daya, dan interaksi antar pihak dalam perekonomian. Etika dalam ekonomi bisa mencakup berbagai isu seperti: Apakah distribusi pendapatan kekayaan dalam Masyarakat itu sudah adil atau justru timpang terlalu jauh? Sejauh mana sebuah Perusahaan bertanggung jawab atas kesejahteraan Masyarakat dan lingkungan, bukan hanya mencari keuntungan yang besar saja? Apakah sebuah Perusahaan memberikan upah yang layak, lingkungan kerja yang aman, dan kesempatan yang adil untuk semua karyawan? Apakah Tindakan ekonomi dilakukan dengan transparansi? Apakah Keputusan ekonomi mempertimbangkan keberlanjutan jangka Panjang bagi masyarakat dan lingkungan?

Hukum adalah aturan yang dibuat, dirumuskan, dan dilaksanakan oleh pejabat pemerintah dalam suatu negara untuk mengatur perilaku warganya agar tercipta keteraturan dan keadilan. Hukum dan etika memiliki relasi antara keduanya. Etika bisa menjadi dasar lahirnya hukum, misalnya penilaian masyarakat yang menganggap korupsi adalah hal yang tidak etis, maka lahir hukum anti korupsi. Sedangkan, hukum dibuat untuk menjamin ketertiban dan biasanya dipengaruhi oleh norma etika masyarakat. Terdapat sesuatu yang etis tapi ilegal, misalnya membantu seseorang yang sakit parah untuk mengakhiri hidupnya, mungkin bisa dianggap etis secara kemanusiaan oleh Sebagian orang, tetapi ilegal di banyak negara. Kemudian, legal tetapi tidak etis, misalnya perusahaan yang memperkerjakan buruh dengan upah yang rendah dianggap legal, tetapi memperlakukan mereka dengan buruk. Secara hukum bisa saja lolos, tetapi secara etika salah.

Dalam rasionalitas ekonomi, memperhatikan etika dan hukum yang tidak berpihak dengan bisnis mereka, hanya akan merugikan mereka karena harus mengeluarkan modal untuk mencegah adanya tekanan-tekanan dari kelompok elit politik dan kelompok masyarakat lokal, terutama dalam jenis bisnis ekstraktif. Menurut penulis, ketidaksesuaian antara hukum, etika, dan praktik ekonominya sudah ada sejak awal negara berdiri, terutama di negara-negara berkembang bahkan semakin melebar dampaknya setelah munculnya perusahaan-perusahaan multinasional sebagai aktor transnasional yang menggerakkan ekonomi dan pasar global serta mampu mempengaruhi arah kebijakan sebuah negara.

Dalam memahami fenomena ini, penulis menggunakan mahzab marxis yang di dalamnya juga berbicara mengenai hubungan imperialisme modern. Imperialisme membagi dunia menjadi dua bagian, yaitu negara pusat dan negara pinggiran. Negara pusat adalah negara kolonialisme yang berfokus pada produksi bahan jadi bernilai tinggi dan mereka adalah pengendali teknologi. Sedangkan, negara pinggiran adalah negara yang cenderung bergantung pada ekspor bahan mentah bernilai rendah. Keuntungan pengekspor bahan mentah sangat sedikit dibanding dengan negara yang menghasilkan teknologi.

Terdapat relasi antara kedua negara tersebut, negara pusat melihat negara pinggiran sebagai penghasil bahan mentah untuk bahan baku industri mereka, mereka datang ke negara pinggiran dengan menanamkan nilai-nilai semua aspek kehidupan kepada masyarakat di negara pinggiran dan memberikan pemahaman bahwa nilai-nilai yang mereka bawa jauh lebih beradab dari apa yang ada di masyarakat sebelumnya. Ini adalah trik imperialisme (dengan menghancurkan struktur masyarakat) yang bertahan dan terus berlanjut.

Negara-negara pusat membuat berbagai macam regulasi yang berpihak kepada negara pusat itu sendiri. Mereka memindahkan pabrik-pabrik mereka ke negara-negara pinggiran untuk berdalih atas kerusakan lingkungan dan tanggungjawab planet. Tidak hanya itu, memindahkan pabrik-pabrik mereka ke negara pinggiran akan mengurangi biaya operasional, karena upah pekerja dan biaya produksi di negara pinggiran sangat murah bagi mereka.

Negara-negara pusat memiliki  hubungan dengan elit politik dan bisnis di negara pinggiran. Elit politik mendapatkan keuntungan dari hubungan ini meskipun keuntungan terbesar tetap mengalir di negara-negara pusat. Kemudian siapa yang menjadi korban dari hubungan ini? Adalah masyarakat lokal, rakyat pinggiran, atau rakyat rentan di negara pinggiran. Hukum di negara pinggiran dapat bersifat fleksibel atau berubah-ubah sesuai kepentingan elit politik dan negara pusat, dan hukum ini sering kali tidak mencerminkan etika baik yang dipercaya masyarakat.

Misalnya, dalam bisnis ektraksi, elit politik, negara pusat, dan perusahaan multinasional mengeksploitasi sumber daya alam tanpa batas. Masyarakat lokal yang tinggal di daerah pertambangan tersebut tidak mendapatkan akses sumber daya alam, menunggu remahan-remahan emas untuk memenuhi kehidupan mereka. Mereka mengeksploitasi sumber daya manusia dengan upah rendah. Mereka merusak lingkungan tempat tinggal masyarakat lokal dengan mengeruk tanah untuk mendapatkan sumber daya alam. Masyarakat dihantui oleh polusi suara (suara operasional pabrik), polusi udara, pencemaran air, dan lainnya. Hewan-hewan punah karena sulitnya beradaptasi pada tingkat tertentu, dan lainnya. Apa yang dilakukan oleh elit politik, negara pusat, dan elit bisnis, adalah tidak beretika secara kemanusiaan, dan secara hukum dianggap legal karena hukum masih meloloskan saja perusahaan tersebut untuk beroperasi.

Ini adalah ciptaaan sistem kapitalisme global, di mana masyarakat tidak memahami kepentingan atau keinginan diri mereka yang sebenarnya. Elit politik dan bisnis telah membuat aturan atau sistem yang harus diikuti oleh mayoritas masyarakat lokal (rakyat pinggiran, rentan, dan marjinal). Meskipun ada masyarakat yang sadar bahwa sistem ini merugikan mereka, kerap kali mereka tidak mau merubahnya. Suara mereka diabaikan bahkan tidak diberi kesempatan untuk ikut serta dalam keputusan ekonomi, sehingga Keputusan ekonomi tidak memihak mereka.

Keputusan ekonomi juga bisa rasis. Hukum yang dibuat tidak beretika. Jika di Amerika Serikat, pendirian pabrik dan pembuangan limbah tidak boleh di perkotaan, harus di wilayah perdesaan yang cenderung dihuni oleh masyarakat kulit hitam, secara dampak dan implementasi polanya sama dengan di Indonesia. Perbedaanya terletak pada keberagaman suku, adat, budaya, dan bahasa di Indonesia (bukan persoalan kulit putih dan kulit hitam). Rasisme di Indonesia lebih merujuk pada perbedaan suku.

Penulis mengambil contoh dalam lingkup wilayah yang lebih sederhana. Di Sumatera Barat, terdapat berbagai macam suku, baik suku asli (Minangkabau) dan suku pendatang atau transmigrasi (Jawa, Batak, Sunda, dan lainnya). Suku Minangkabau memiliki orang-orang yang paling dituakan, yaitu datuk-datuk daripada sub-suku dan ninik mamak. Dalam setiap pengambilan keputusan baik itu ekonomi atau aspek lainnya, harus melibatkan para datuk-datuk dan ninik mamak. Ninik mamak menguasai tanah milik pemerintah yang biasa disebut dengan tanah ulayat. Permasalahannya adalah, banyak sekali ninik mamak yang tidak beretika, memanfaatkan kelemahan masyarakat transmigrasi untuk kepentingan mereka dan memanfaatkan tanah ulayat untuk keluarga mereka saja.

Masyarakat transmigrasi di Minangkabau adalah Masyarakat yang berasal dari suku Jawa, Sunda, dan Batak (mayoritas Jawa). Mereka menempati wilayah yang masih dekat dengan hutan lindung atau wilayah-wilayah pelosok desa (remote area). Wilayah tersebut menyimpan berbagai macam sumber daya alam seperti hasil pertanian dan pertambangan.

Dalam konteks etika, hukum, dalam ekonomi dan bisnis, kerap kali pabrik-pabrik ini beroperasi di wilayah pemukiman transmigrasi. Misalnya pabrik SKA (Sumatera Karya Agro) dari Riau dan Pabrik SMP dari Sumatera Utara, beroperasi di wilayah transmigrasi, Sijunjung. Pabrik ini berdiri di dekat pemukiman masyarakat, tidak ada jarak antara pabrik dan rumah-rumah masyarakat. Pada awal pendiriannya, masyarakat trans tidak dilibatkan sama sekali atas keputusan izin pendirian pabrik, hanya pihak KUD yang dilibatkan, Kepala Desa yang tidak mewakili masyarakat, dan ninik mamak. Bahkan, elit bisnis ini berkerja sama dengan elit politik yaitu para DPRD.

Masyarakat dengan pemikiran yang masih konservatif ini telah dibodohi oleh para elit bahkan ninik mamak mereka sendiri. Pola main ninik mamak pun bisa dibaca dengan jelas dari sekian banyak pendirian pabrik di wilayah trans ini. Mereka membiarkan pendirian pabrik, setelah akan beroperasi, mereka mengajak masyarakat untuk demo, ninik mamak mendapatkan keuntungan besar dalam kondisi ini, masyarakat yang diajak demo hanya mendapatkan nasi bungkus dan aqua saja. Hasil dari aksi protes pun tidak ada, pabrik tetap berjalan, limbah merusak sungai larangan, masyarakat terganggu akibat polusi suara, dan tenaga kerja pun paling banyak bukan dari masayrakat lokal, tapi dari luar wilayah itu sendiri. Jelas ini menunjukkan adanya ketimpangan antara etika, hukum, dan aktivitas ekonomi.

Kesimpulannya adalah, perbedaan praktik antara etika, hukum, dan ekonomi terjadi karena sistem yang sudah dibentuk, kapitalisme global. Keserakahan manusia yang tidak memikirkan manusia yang lain menjadi dasar hubungan ini. Kondisi yang timpang ini tidak hanya terjadi antar negara saja, tetapi juga di dalam masing-masing negara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun