Mohon tunggu...
risa karmida
risa karmida Mohon Tunggu... -

veteran media

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Perlukah "Branding" (Sok) Internasional?

5 Agustus 2016   14:57 Diperbarui: 5 Agustus 2016   15:43 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

Jika Anda berjalan-jalan di pusat kerajinan kulit Manding, DIY, apa yang Anda lihat? Produk kulit. Ya iyalah, namanya saja sentra kerajinan kulit. Tapi tunggu, jika Anda sudah pernah ke sana, coba sebutkan satu merek produk yang Anda ingat. Mungkin susah ya, karena mereknya terlalu umum, pakai bahasa Inggris yang kadang salah struktur, atau pakai bahasa Perancis biar terdengar modis, atau bahkan bahasa abstrak supaya terdengar futuristik.

Saya pernah tanya ke salah satu pedagang sepatu kulit di sana. "Mbak, saya mau cari yang tulisannya 'Made in Bantul', ada gak?" "Wah, nggak ada, Mbak. Di sini yang laku yang merek terkenal, tapi kawe (palsu), atau merek terkenal tapi diplesetkan, kayak ini, Chanal, Pradha, made in Paris, London." Sayang sekali ya, padahal produk para perajin ini bagus dan awet, tapi mengapa tidak percaya diri dengan identitas Bantul. Katanya sebagian barang disuplai dari Jawa Barat seperti dari Bandung dan Garut. Oke, mencari tulisan “Made in Bandung” juga tidak akan ketemu.

Mari kita bandingkan dengan sebuah produk coklat yang terkenal dari Jogja. Saya tidak perlu menyebut merek, pasti Anda tahu produk coklat bercita rasa Eropa, tapi dikemas dengan pembungkus bergambar wayang, batik, mereknya pun pakai bahasa Jawa. Merek coklat ini sudah terlalu sering diulas di hampir semua media, namun yang menarik bagi saya adalah, bule Belgia si pemilik pabrik coklat tahu persis cara menjual eksotisme budaya Jawa atau budaya Jogja. And it works! Coklat ini laku keras, sangat ngetop di kalangan turis dalam dan luar negeri. Kenapa? Karena menampilkan budaya yang menjadi core Jogja. Trik marketing ini pun ditiru produsen coklat lain dengan merek dan kemasan sejenis. Meski harganya terbilang lebih mahal daripada coklat buatan pabrik besar, tetap laku karena segmennya turis.

Produk lain yang sukses “menjual” budaya Jawa sebagai packaging adalah bisnis spa. Seorang teman saya pelaku bisnis salon spa di Jogja bercerita betapa gandrungnya ibu-ibu Jakarta dengan spa tradisional Jogja. Meski bisnis ini mulai menjamur, peminatnya tetap banyak. Dengan setting tempat bernuansa Jawa, diberi korden kain batik, alunan musik gending, terapis berbusana Jawa, tinggal bikin paket “spa rempah; spa sekarsari; spa putri keraton” pengunjung pun tersugesti mendapat perawatan kecantikan bak putri Kerajaan Mataram. Padahal, bahan krim spa yang digunakan tidak beda jauh dengan salon lain.

Sekarang kita kembali ke industri kerajinan di Manding. Siapakah pangsa pasar mereka? Turis? Asing atau lokal? Turis asing semakin jarang tampak di sana. Bayangkan seorang turis Amerika membeli barang merek “pradha” apa tidak malu pulang ke negaranya? Oke, berarti pangsa pasarnya turis lokal. Menengah ke atas atau ke bawah? Turis kelas menengah (gak usah menengah ke atas deh, menengah ngehe aja) malu pake barang palsu. Maka segmennya semakin menyempit dan menyulitkan pemasar.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Manding, namun juga di sentra kerajinan kulit di Garut, Jawa Barat dan mungkin tempat lain. Andai para produsen itu tahu bahwa tren pasar saat ini sudah bergeser, tidak lagi sok internesyenel, justru yang eksotis lebih dihargai. Andai mereka sadar betapa besar potensi budaya yang dimiliki untuk laku dijual. Saya cinta sekali dengan sepasang sepatu kulit seharga 120.000 rupiah yang saya beli di Manding. Saya berpikir andai sepatu ini bertuliskan “Made in Bantul” diberi gambar atau motif batik, saya tidak keberatan membeli dengan harga lebih mahal dan saya akan bangga menunjukkannya kepada semua orang.

Fenomena ini menjadi gambaran bahwa branding berbau internesyenel belum tentu lebih elegan dan lebih mahal. Jika yang tradisional lebih bernilai, mengapa tidak? Selain mendukung promosi budaya setempat, mengangkat kearifan lokal dalam produk yang dijual akan memudahkan produsen untuk mencari segmen pasar.

Pesan penulis: Anda diizinkan mengutip bagian dari tulisan ini dengan meyertakan nama penulis dan atau link blog ini. Terima kasih atas kebijaksanaan Anda.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun