Mohon tunggu...
Suripman
Suripman Mohon Tunggu... Akuntan - Karyawan Swasta

Pekerja biasa, menulis alakadarnya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ya, Saya Memang Kafir!

5 Februari 2019   09:00 Diperbarui: 5 Februari 2019   14:36 4537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sistem nilai juga merupakan standar dan disiplin diri seseorang, dipilih menurut akal sehat dan kebijaksanaan yang tepat secara pribadi, dan dengan sukarela dipatuhi bersama orang lain yang juga memilih sistem nilai yang sama".

Maka dapat disimpulkan bahwa sistem nilai (agama, merupakan salah satu sistem nilai; menurut saya), bersifat:

  • Pribadi
  • Merupakan pilihan bebas
  • Hanya dipatuhi oleh pribadi-pribadi yang memilih sistem nilai yang sama
  • Sistem nilai tidak selalu sama antar pribadi dan tidak dapat dipaksakan

Kembali lagi ke sebutan kafir, karena predikat  itu diberikan oleh orang atau kelompok orang dengan sistem nilai dan sudut pandang yang berbeda dengan saya, maka tidak ada alasan bagi saya untuk keberatan.

Jika kita membuka diri untuk memahami sedikit-banyak mengenai sistem nilai yang dianut orang lain, maka kita akan lebih mudah untuk menghormati dan menghargainya, kemudian dengan tulus dan sadar memakluminya. Mudah sekali!

Bagi teman-teman Muslim, orang yang tidak beragama Islam atau tidak mengimani Ketuhanan Allah dan kerasulan Nabi Muhammad SAW, otomatis berpredikat sebagai kafir. Kafir sendiri masih digolongkan lagi sebagai kafir dzimni, kafir harbi dan seterusnya. Saya tentu tidak kompeten mengenai hal ini, dan saya mohon maaf dan koreksi dari teman-teman Muslim yang pasti lebih paham.

Tentu sangat tidak tepat, jika saya menggunakan sistem nilai saya sebagai seorang nonmuslim dalam menerjemahkan dan merespon predikat yang disampaikan oleh teman-teman Muslim. Kalau itu yang saya gunakan, hasilnya pasti berantakan, karena kafir menurut keyakinan saya berbeda maknanya.  

Saya baru bingung, kecewa dan mungkin juga marah jika saya disebut kafir oleh orang atau kelompok orang yang memiliki sistem nilai, atau agama yang sama dengan saya.

Lantas, apakah saya secara pribadi setuju dengan sebutan tersebut? Tentu saja tidak, karena sistem nilai saya berbeda. 

Menghormati sebuah sistem nilai yang dianut oleh orang lain, tidak serta-merta berarti harus menyetujuinya. Itulah arti toleransi yang saya pahami.

Menurut salah seorang guru saya waktu SMP dulu, almarhum Haji Mualim Jafar, kata kafir tidak selalu dilontarkan dalam konteks merendahkan dan permusuhan, kecuali untuk kafir harbi. Lebih lanjut, beliau menceritakan mengenai Piagam Madinah, bahwa Rasulullah tidak hanya menjamin keselamatan, tapi juga memberikan perlindungan bagi warga nonmuslim di masa itu.

Guru saya itu juga mengatakan, bahwa dalam Islam, seorang Muslim memiliki cara berinteraksi dengan non muslim (kafir), dengan cara yang penuh keindahan dan kasih sayang. Dalam Islam diatur pola hubungan terhadap sesama manusia. Istilahnya ukuwah insaniyah. Saya sekali lagi tidak kompeten menjabarkannya lebih lanjut, mohon koreksi dari teman-teman Muslim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun