Mohon tunggu...
Nova Rio Redondo
Nova Rio Redondo Mohon Tunggu... #Nomine Best Student Kompasiana Award 2022

Mahasiswa Teknologi Informasi UIN Walisongo Semarang. Personal Blog: novariout.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Saatnya Memberi Gaji Pekerja UMKM dengan Hati dan Logika

11 Juni 2025   20:26 Diperbarui: 12 Juni 2025   19:23 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembuat Roti UMKM | kompas.id (Priyombodo)

UMKM adalah singkatan dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Di balik akronim itu, tersimpan denyut nadi ekonomi Indonesia yang nyata.

Mulai dari warung kelontong di sudut kampung, bengkel motor rumahan, toko kue rumahan, hingga bisnis kopi kekinian dengan satu barista, semuanya masuk dalam kategori UMKM.

Tak hanya menyumbang produk domestik bruto secara signifikan, UMKM juga menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Namun ironisnya, isu kesejahteraan pekerja UMKM sering kali luput dari sorotan.

Saya pernah bertanya pada salah satu pekerja UMKM yang bergerak di bidang produksi makanan ringan. Jam kerja dari pagi hingga sore, tidak jarang lembur jika permintaan membludak. Tapi ketika bicara soal gaji, jawabannya kerap menggantung di langit.

Banyak pelaku UMKM berdalih bahwa keterbatasan modal dan belum stabilnya omzet membuat mereka sulit menggaji pegawai sesuai standar.

Memang, tidak mudah mengelola bisnis kecil dengan tekanan biaya operasional, utang bahan baku, dan belum adanya pemasukan tetap. Namun perlu digarisbawahi, pekerja yang datang ke tempat usaha setiap hari, memberi tenaga dan waktunya, bukanlah relawan.

Di sinilah pentingnya pelaku UMKM mulai menyadari bahwa upah bukan sekadar "uang jajan" yang diberikan semampunya. Upah adalah bentuk penghargaan atas waktu, keahlian, dan komitmen seseorang.

Realitas di lapangan memang tidak hitam putih. Ada pelaku UMKM yang benar-benar berjuang sendirian, menanggung rugi demi bisa membayar gaji pegawai meski seadanya.

Tapi ada juga yang mulai menikmati keuntungan, namun masih enggan menyesuaikan gaji pegawainya dengan standar yang pantas. Dalam hal ini, saya percaya, gaji seharusnya dihitung bukan hanya dengan hati, tapi juga logika.

Logika pertama adalah menghitung beban kerja. Jika usaha kecil belum mampu menggaji sesuai UMR, setidaknya bisa dimulai dengan transparansi ajak pegawai berdiskusi tentang pendapatan, pembagian keuntungan, bahkan peluang pengembangan usaha bersama.

Pembuat Roti UMKM | kompas.id (Priyombodo)
Pembuat Roti UMKM | kompas.id (Priyombodo)

Mengelola Harapan di Dua Sisi

Pekerja UMKM kadang terjebak dalam loyalitas semu. Mereka merasa tidak enak hati menuntut, apalagi kalau sudah dianggap keluarga oleh pemilik usaha.

Padahal, relasi kerja adalah kontrak tak tertulis yang membutuhkan kejelasan hak dan kewajiban. Sementara di sisi lain, pelaku usaha juga kadang terjebak pada asumsi bahwa pekerja harus ikut berkorban demi kelangsungan usaha.

Keduanya tentu sah memiliki harapan. Namun harapan harus diimbangi dengan perhitungan. Saya pernah menyaksikan seorang pemilik warung makan yang, alih-alih menggaji pegawai dengan tetap, tapi malah hanya memberi uang saku harian tanpa kepastian.

Ketika pegawai berhenti, ia bingung kenapa ditinggal. Mungkin karena sejak awal relasi kerja itu tak pernah ditata.

Gaji layak tidak selalu berarti UMR penuh (meski itu idealnya). Dalam konteks UMKM yang masih bertumbuh, ada banyak cara kreatif untuk menghargai pekerja secara manusiawi.

Misalnya dengan memberi insentif dari keuntungan harian, membiayai transportasi, memberikan makan siang, atau memberi hari libur yang fleksibel.

Sebagian pelaku usaha bahkan mulai menerapkan sistem bagi hasil yang disepakati bersama. Meskipun sederhana, hal ini membuat pekerja merasa dihargai dan terlibat dalam pertumbuhan usaha. Jadi bukan sekadar digaji, tetapi juga diajak tumbuh bersama.

Memberi gaji layak bukan hanya soal angka. Ini soal membangun budaya kerja yang sehat dan berkelanjutan.

Pekerja yang digaji dengan adil cenderung lebih loyal, lebih produktif, dan lebih peduli terhadap kemajuan usaha. Sebaliknya, gaji yang asal-asalan hanya akan membuat mereka bekerja setengah hati dan cepat atau lambat, mereka akan pergi.

Mengurai Jalan Tengah

Saya tidak sedang menempatkan pelaku usaha sebagai pihak yang sepenuhnya salah. Tantangan merintis UMKM itu nyata dan berat.

Tapi bukan berarti harus mengorbankan hak dasar pekerja. Jalan tengah bisa dimulai dari keterbukaan. Terbuka soal kondisi usaha, pendapatan, dan rencana ke depan.

Di sisi pekerja pun, ada baiknya memiliki ekspektasi yang realistis. Tidak semua UMKM mampu menggaji seperti perusahaan besar. Namun, jika ada itikad baik dan saling menghargai, maka hubungan kerja bisa berjalan adil meski sederhana.

Pekerja UMKM memang bukan relawan. Mereka tidak datang hanya untuk membantu, tapi untuk bekerja dan hidup dari situ.

Oleh karena itu, sudah saatnya pelaku usaha berhenti memakai narasi "kita masih merintis" sebagai alasan untuk menggaji di bawah standar.

Gaji bukan sekadar angka, tapi representasi dari bagaimana kita menghargai manusia. Dan menghitung gaji dengan hati dan logika bukan hanya mungkin, tapi semestinya menjadi standar baru.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun