Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pecinta Alam dengan Cinta dan Harapan Palsunya

30 Januari 2017   12:59 Diperbarui: 30 Januari 2017   13:14 1773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

We take nothing, but pictures

We kill nothing, but time

We leave nothing, but traces

Tiga kalimat ini sering diucapkan dalam doa-doa para pecinta alam. Itu adalah semboyan sejati dari mereka yang mencintai alam. Alam akan kami jaga. Kami tidak akan merusaknya. Kami hanya mengambil gambar, tidak secuilpun alam terambil. Kami hanya membunuh waktu, satu tunas rumput pun tidak akan kami sentuh. Kami tidak meninggalkan apa pun disana, hanya jejak yang menjadi penanda kecintaan kami kepada alam. Selalu seperti itu.

Mencintai alam sudah seharusnya. Karena jika alam dicintai, alam akan memberikan balasannya dalam bentuk limpahan anugerah yang kita perlukan. Alam juga harus kita pelihara, karena ini hanya pinjaman dari anak cucu kita. Alam harus kita rangkul, karena luka alam adalah bencana bagi kemanusiaan.

Mungkin, itulah yang terbenam, masuk ke rongga-rongga hati banyak orang. Mereka pun mempunyai keinginan untuk mencintai alam secara sadar. Banyak dari antaranya kemudian mewujud dalam berbagai bentuk. Ada remaja pecinta alam. Ada kelompok pelestari lingkungan. Ada mahasiswa pecinta alam.

Tetapi ada pertanyaan mendasar yang harus dijawab terlebih dahulu. Apakah hakikat dari alam itu? Alam adalah sebuah ekosistem dengan isinya. Ada manusia, ada tumbuhan, ada hewan, ada angin, ada air, ada batu, ada gunung, ada lembah. Daftar ini masih bisa ditambahkan.

Jika itu adalah alam, maka jika ada yang mengatakan sebagai pecinta alam, maka seharusnya orang tersebut harus mencintai segala isinya. Tetapi sering sekali, ketika mereka mengaku sebagai pecinta alam, sepertinya ada yang salah.

Pada saat ini, ketika bicara tentang mencintai alam, ada yang tidak selaras dengan hal di atas. Alam selalu identik dengan gunung. Alam selalu diartikan sungai di lembah-lembah terpencil yang harus dijenguk. Alam selalu tentang ketinggian bumi dalam wujud bukit, gunung dan puncak-puncaknya. Pecinta alam selalu mengaku pecinta alam dengan hanya mendaki gunung, menelusuri gua, mengarung sungai, menjelajahi jalan setapak di alam bebas.

Lalu, kalau alam adalah berikut seluruh isinya, mengapa sungai-sungai jorok dan bau tidak dijenguk? Mengapa lingkungan kotor dan amis tidak dikunjungi? Mengapa pantai-pantai jorok tidak ditengok? Mengapa rupa-rupa buruk alam tidak disapa? Mengapa selalu tentang gunung, sungai dan bukit?

Menjadi pecinta alam juga adalah tentang diri. Dengan mencintai alam, kita harus mengalahkan diri kita, demikian katanya. Mencintai alam dengan melakukan pendakian bukit, gunung dan terlusur sungai dan gua, bukan tentang menaklukkan alam. Ini terlebih tentang menaklukkan diri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun