Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekolah Ramah untuk Semua, Ketika Berani Mengangkat Tangan Jadi Awal Perubahan

20 Oktober 2025   05:32 Diperbarui: 20 Oktober 2025   05:32 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalian pernah dengar tentang sekolah bernama Summerhill? Saya menemukannya dalam buku Summerhill School, Pendidikan Alternatif yang Membebaskan yang ditulis langsung oleh A. S. Neill, guru di sebuah desa kecil di Suffolk, Inggris, di tahun 1992.

Apa yang menarik dari kisahnya? Tentang sebuah sekolah di Jerman (1921), lalu pindah ke Inggris itu. Di sekolah tersebut tidak ada paksaan belajar. Siswa bebas memilih mau ikut pelajaran atau bermain di taman. Tapi ajaibnya, justru di sekolah "tanpa tekanan" milik Neil itulah tumbuh siswa yang percaya diri, berani berpendapat, dan punya rasa tanggung jawab tinggi.

Neill percaya, "Cinta dan kebebasan adalah dua syarat utama agar anak bisa belajar dengan aman dan gembira."

koleksi buku pendidikan di pustaka rumah-summerhillschool-(dokumentasi pribadi)
koleksi buku pendidikan di pustaka rumah-summerhillschool-(dokumentasi pribadi)

Bukan Hanya Tentang Nilai Akademis Semata

Suatu hari, seorang murid Neill yang pemalu bernama Geraldine, untuk pertama kalinya akhirnya berani mengangkat tangan di kelas sastra. Guru tidak menilai jawabannya benar atau salah, tapi justru mengapresiasinya dengan kegembiraan. Sejak hari itu, gadis kecil itu tak pernah lagi ragu untuk bicara.

Mungkin, begitulah sejatinya titik mula dari Sekolah ramah untuk semua bukan tentang pelajaran di buku, papan tulis atau di kurikulum saja, tapi ada satu momen ketika seorang anak berani bicara dan mengangkat tangan, dan kita memilih untuk mendengarkan.

Sejak TK, banyak siswa memilih diam di bangkunya, menahan diri untuk tidak menunjuk tangan di kelas, takut salah, takut dicemooh, dan memilih "membeo". Fenomena itu tidak hilang begitu saja di SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Kebiasaan itu menumpuk, menjadi karakter generasi yang pasif, enggan berinisiatif, dan hanya mengikuti arus.

Saya ingat sewaktu bersekolah dulu, sering mendapat kesempatan menuliskan pengalaman ketika liburan, atau cerita tentang cita-cita. Lalu, saya tampil di depan kelas membacakan tulisan itu. Apa pun dan bagaimana pun cerita kita guru akan sangat menghargai tulisan saya. Saya merasa percaya diri karena didengarkan.

Tapi seiring waktu, saya justru tidak pernah melihatnya lagi pada anak-anak saya. Mereka hanya mendapat apresiasi dan nilai bagus ketika catatannya paling lengkap dan "banyak". Tapi anak-anak semakin bergantung pada hafalan atau bahan-bahan dari buku catatannya. Tidak lagi kritis bisa menceritakan pelajaran yang telah diterimanya. Mereka menjadi pasif dan "penakut" tidak lagi aktif di dalam kelas.

diskusi di kelas-(dokumentasi pribadi rini wulandari)
diskusi di kelas-(dokumentasi pribadi rini wulandari)

Di awal ketika saya menjadi guru, saya bertanya di kelas setelah pelajaran selesai, "Sudah jelas semuanya?, ada yang tahu materinya apa hari ini?" semua siswa terdiam. Saya ulangi dengan pertanyaan, "Atau kalian belum mengerti?" jawabannya masih sama, diam. Bahkan gelengan kepala pun tidak. Jadi saya berpikir mungkin mereka malu, enggan, atau mungkin takut dengan saya sebagai gurunya.

Tapi Mengapa? Padahal saya sudah berusaha seinteraktif mungkin saat memberikan materi, agar mereka merasa lebih santai.

Di hari lain saya putuskan untuk membagi kelas dalam kelompok. Menggunakan plano sebagai pengganti catatan di papan agar waktu mencatat diganti dengan kelas interaktif. Metode pembelajaran saya ubah menjadi diskusi, dan permainan. Saya ajak setiap siswa tampil di depan kelas. Hasilnya kelas menjadi hidup dan penuh semangat. Semua anak aktif, semua anak berani bertanya dan berebut tunjuk tangan.

Jadi siswa yang tidak berani mengangkat tangan di kelas, sebenarnya bukan karena malas, atau takut, tapi salah satunya karena sistem belajar kita yang salah. Sistem klasikal dengan pembelajaran satu arah dan seragam, guru tidak memahami karakter dan kapasitas "spesial" setiap siswa. Guru bisa salah menilai kemampuan setiap siswa.

Akibatnya, bisa saja meski nilai akademik tinggi, rasa percaya diri dan keterampilan sosial anak tidak berkembang dan tidak "sehat". Menurut saya, inilah dampak sistemik dari sistem atau proses belajar dan mengajar yang salah sejak lama.

diskusi kelas yang interaktif-(dokumentasi pribadi rini wulandari)
diskusi kelas yang interaktif-(dokumentasi pribadi rini wulandari)

Coba bayangkan jika ada siswa menanyakan pertanyaan sederhana, seperti "apa yang dimaksud dengan inflasi, Bu? saat guru membahas tentang inflasi. Lalu saya sebagai gurunya, menjawab. "Kamu tidak memperhatikan ya, masa pertanyaan mudah seperti itu tidak tau jawabannya?". Sikap seperti itu meskipun dengan bercanda sekalipun bisa "melemahkan" mentalitas anak-anak. Lain halnya jika jawabannya, "Terima kasih Nak, baik, Ibu ulangi sekali lagi biar yang lain juga bisa mengingat kembali materi pelajaran hari ini ya."

Inilah alasan mengapa konsep Sekolah Ramah untuk Semua sangat penting, sekolah yang bukan hanya mengajarkan teori, tetapi juga membentuk karakter, empati, dan keberanian mencoba.

belajar resensi di kelas menulis-(dokumentasi pribadi rini wulandari)
belajar resensi di kelas menulis-(dokumentasi pribadi rini wulandari)

Kelas yang Hidup, Dari Diam ke Partisipasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun