Jika kopi diidentikkan dengan semangat dan kerja keras, maka teh adalah lambang kehangatan dan kebersamaan. Coba saja lihat iklannya di televisi. Acara ngeteh selalu menghadirkan gambaran sebuah keluarga. Begitu juga dengan kami, sejak dulu tradisi menikmati teh yang diseduh dalam teko tanah liat sudah jadi kebiasaan di rumah. Kebiasaan itu membuat rumah saat pagi terasa "hangat".
Seingat saya dulu, di meja kakek setiap pagi pasti sudah tersedia teh panas dalam teko yang dibalut dengan sulaman kain perca buatan nenek. Ditambah empat cangkir kecil, dan gula batu di wadah kaleng. Dari dulu mereknya tidak berubah, karena paling populer di Aceh, seolah tidak ada merek lain. Hampir semua kedai kopi di Aceh sajiannya Teh Cap Bunga Mawar.
Aroma harum teh Mawar yang baru diseduh, selalu menguatkan ingatan masa kecil. Beberapa saat setelahnya ketika teh kering berupa bubuk sedikit kasar kecoklatan lumat terkena air panas, asapnya naik perlahan, dan dengan segera semerbak aroma teh akan mengisi ruangan seperti aromaterapi, sangat menenangkan.
Teh Mawar, Aroma Khas dari Masa Lalu
Bagi saya yang lahir di Aceh, teh lokal seperti teh Mawar memang punya cerita yang khas dan punya jalinan akar keseharian yang kuat. Saya ingat, jika berkunjung saat silaturahmi dalam suasana suka dan duka, selain gula, pasti ada bungkusan teh Mawar di dalamnya. Seolah satu paket sajian yang tidak dipisahkan.
Wujud teh Mawar adalah teh hitam lokal dengan karakter yang kuat. Berwarna pekat kemerahan, aromanya tebal, dan rasanya sedikit kesat sebagai ciri khasnya, tapi meninggalkan kesan hangat di tenggorokan. Diproduksi secara lokal dengan cita rasa yang khas dan harganya juga murah.
Meskipun tidak sepopuler merek lama seperti teh Cap Tjatoet yang sudah lama malang melintang, tapi bagi banyak rumah di Aceh, teh ini nyaris tak tergantikan.
Hampir semua warung kopi di Aceh sajian tehnya pasti teh Mawar. Dari Banda Aceh, sampai Aceh Besar, Bireuen hingga Lhokseumawe, baik warung kopi maupun rumah makan tradisional, pasti seduhannya teh Mawar.
Dalam bungkusan kecil layaknya teh jaman dulu, meskipun dikemas sederhana, teh ini seperti punya “jiwa nostalgia”. Saya dan banyak orang Aceh lainnya menyebutnya sebagai “teh masa kecil” karena sejak dulu selalu hadir di rumah, di dapur, di setiap tamu datang.
Bagi sebagian besar orang Aceh, aroma Teh Mawar identik dengan “aroma rumah” karena hampir semua ibu-ibu di Aceh punya stok teh ini di dapur. Menurut saya merek lokal ini bukan sekadar produk, tapi sudah menjadi simbol kontinuitas, semacam warisan kuliner. Buktinya sampai sekarang pun masih bisa kita temukan, sekalipun banyak merek-merek baru bermunculan.
Cara menyajikannya tidak encer, tapi agak pekat, gulanya biasanya cukup banyak, dan disajikan dengan gelas besar. Sebagai teman penganan seperti kue boh rom-rom, timphan, atau bada-pisang goreng.
Ulee Kareng dan tradisi Teh Tarik yang Menghangatkan
Jika teh Mawar identik dengan suasana rumah, maka Teh Tarik Ulee Kareng adalah ikon rasa teh unik Aceh yang berkembang di ruang publik. Apalagi sejak dulu kawasan Ulee Kareng di Banda Aceh memang menjadi tempat awal kopi dinikmati dan diseduh orang di warung kopi. Disela dominasi aroma Robusta dan Arabica, itulah teh ini hadir.
Meskipun konon teh ini berasal dari negeri jiran Malaysia dan Singapura, ten tarik telah menyatu dengan tradisi warung kopi di Aceh. Sajian teh Tarik Ulee Kareng bukan lagi sekadar teh susu biasa.