Ngopi di Aceh, rasanya seperti tradisi yang tidak boleh dilewatkan. Jika tamu mampir ke Aceh, pasti di sempatkan singgah, sekedar menikmati kopi pancong, kopi saring kental yang disaji dengan gelas kecil--boleh tanpa gula. Atau Kopi sanger--yang konon artinya "sama-sama ngerti". Entah dari mana datangnya. Tapi kini menjadi salah satu menu kopi spesial di Aceh.
Makanya tidak salah jika julukan Banda Aceh, Kota 1000 Kedai Kopi. Kanan, kiri, muka dan belakang warung kopi berjajar padat, tak pernah ada yang sepi.
Teman saya punya jadwal ngopi sudah seperti minum obat, tiga kali sehari--pagi, siang dan malam. Malah ada yang sampai lima kali sehari. Ketemu tamu, diajak teman, ngajak teman, semuanya bermuara di warung kopi. Banyak orang yang menjadikan warung kopi sebagai tempat rapat, nugas, kongkow dan bisnis, bukan cuma sekedar ngobrol debat kusir.
Bahkan di Aceh ada pameo, "di warung kopi semua masalah bisa selesai". Kebayang dari mana solusinya?. Ya, karena banyak masalah diurus dan dibahas di warung kopi. Para petinggi di Aceh saja selama masa konflik dulu sering ketemuan serius ngomong soal politik di warung kopi. Seperti halnya kopi, semua masalah bisa cair. Meskipun pahit, tetap ada sedikit manisnya.
Semesta Kopi yang Menular
Mungkin karena semestanya memang kopi, maka orang yang bukan maniak pun bisa ketularan.
Setelah semingguan sibuk dengan aktifitas mengajar, seringkali di akhir pekan saya sempatkan refreshing di kafe, warkop atau di pinggir pantai. Saat rehatnya, digunakan bersantai sambil menikmati penganan tradisional, dan tentu saja segelas kopi. Saya bukan pemilih harus kopi jenis Robusta, Arabica, atau Kopi Luwak, yang penting kopi--dan harus sachet!.
Pernah dengar apa kata para pecandu kopi yang bilang, “kopi itu digiling, bukan digunting”?. Sebagai bukan maniak dalam urusan per-kopian, saya tahu pernyataan itu dimaksudkan, bahwa menikmati kopi semestinya di kedai kopi, bukan di rumah, atau menunya pastilah berupa kopi giling asli yang langsung disaring, bukan kopi sachet!.
Meskipun sama-sama digiling, tapi kopi sachet diyakini oleh para penikmat kopi sejati sebagai fake coffee alias bukan sebenar-benarnya kopi. Maka sebuah iklan kopi sachet harus memaksakan tambahan narasi, “ada kopi aslinya gaes!”.
Kopi--persisnya entah sejak kapan, telah menjadi “teman setia”, tanpa memandang asal usul, apalagi perbedaan haluan partai politik. Meskipun ukurannya cuma jenis “kopi feminis”, saya menyebut begitu untuk membedakan dengan sebutan orang tentang kopi pahit, tanpa gula yang mungkin tepat disebut sebagai “kopi maskulin”.
Sementara kopi feminis, mungkin bisa coffee latte, capuchino, mochacino, atau kopi manis dingin alias “kopi mandi”. Setidaknya, begitu yang saya pahami sebagai orang awam, tapi merasa sok tahu.
Kenapa harus membahas kopi sachet alias kopi gunting?. Ini ada kaitan dengan sikon pandemi Covid19 yang pernah merajalela di tahun 2020-an. Istilah social distancing, physical distancing, work from home, stay at home, bahkan sekolah pun harus daring alias dalam jaringan alias online alias Belajar Dari Rumah (BDR).
Kondisi ini ternyata berimbas pada tradisi saya dalam menikmati kopi. Sehingga muncul istilah kopi drive thru, kopi take away karena larangan membuka kedai kopi dan larangan berkerumun untuk menghindari penularan pandemi covid19. Dulu menjadi kebiasaan saya menyebut kopi di warkop itu "kopi luring" sedangkan kopi sachet itu "kopi daring".
Sebenarnya istilah "kopi daring" dan "Kopi luring" saya sendiri yang buat. Menurut saya akan semakin menarik jika kosakata dunia per-kopian ditambahkan istilah baru “kopi daring” dan “Kopi luring”. Mengapa?, ini cuma sekedar untuk membedakan mana kopi yang spesial dan mana yang biasa.
Jadi, ngopi luring alias luar jaringan, dimaknai sebagai cara ngopi tradisional, tentu di kedai kopi atau kafe dan semacamnya. Sementara kopi daring alias online, kurang lebih ditujukan untuk kopi sachet.
Bagi saya yang berprofesi sebagai guru, mungkin tak begitu penting apakah harus kopi daring atau luring. Pasalnya sebagai perempuan saya sadar diri, bukan sebagai penguasa wilayah yang konon katanya adalah wilayah maskulin. Jadi buat saya proses belajar-mengajar lebih penting daripada sekedar membahas polemik itu.
Tapi ternyata, tanpa kopi, baik panas atau dingin, prosesi belajar-mengajar di sekolah dan di rumah, jadi terasa hambar dan tidak nendang!. Meskipun, kata orang kopi itu pahit, ternyata lebih pahit jika tak bisa ngopi-parah abis!.
Ulka Episentrum Kopi yang Berubah
Dulu sebelum kafe merajalela di Aceh, warkop alias warung kopi menjadi salah satu tempat kongkow yang masih terbilang sedikit. Ulee Kareng atau Ulka, di daerah pinggiran Kota Banda Aceh menjadi salah satu sentra warkop tradisional yang selalu menjadi kiblat, selain di Beurawe.
Saat itu belum ada wifi, jadi ngopi ya ngopi. Warkop jadi tempat ngobrol dan ketemuan, bukan tempat nugas. Tapi sejak wifi hadir, wujud warkop berubah menjadi warung kopi plus wifi. Kopi saring pun mulai mendapat perlawanan sengit dari kopi sachet.
Di Ulee Kareng meskipun tidak ada kebun kopi, bukan daerah pegunungan, dan bukan juga daerah penghasil kopi, tapi namanya identik dengan sebutan yang merujuk kepada kopi berkualitas atau "kopi enak".
Di Ulee Kareng pernah ada kedai kopi yang omsetnya mencapai 25 juta per hari. Pernah diulas media nasional dan bikin heboh. Padahal tempatnya biasa saja, hanya kebetulan berada di dekat perempatan simpang tujuh, sehingga menjadi muara para pejalan yang rehat dari seputaran kota Banda Aceh dan kampung sekitarnya.
Nama itu juga yang kemudian dilirik seorang produsen yang konon katanya pernah punya kedai kopi kecil. Sekarang merek itu dengan sendirinya menjadi cepat populer karena dipopulerkan oleh kebiasaan orang di Banda Aceh menyebut tempat ngopi enak di masa lalu. Kopi Ulee Kareng.
Tapi bukan sebuah kebetulan juga jika rasa dari Kopi Ulee Kareng sachet ini sangat mirip dengan kopi legenda di Ulee Kareng masa lalu. Ibarat jelmaan dari episentrum kopi Ulee Kareng yang berubah wujud, sehingga banyak orang yang menjadikan kopi sachet ini pilihan kopi jika harus minum kopi sachet atau kangen dengan kopi Aceh saat berada di luar Aceh.
Termasuk saya, yang selalu menyimpan stock-nya di dalam tas kerja dan di rumah. Tinggal gunting, tuang, aduk dengan sedikit air panas biar nge-blend, selanjutnya tinggal pilih mau diseruput panas, atau diminum dingin dengan tambahan es batu.
Segelas Kopi Sachet Ulka Meng-inspirasi
Bagi saya segelas kopi menuangkan banyak inspirasi, terutama ketika pekerjaan bertumpuk, ritme jadwal tidur terganggu, sakit kepala menjalar sekujur kepala atau bahkan setengahnya.
Ketika kopi atau tepatnya komposisi kafein dalam takaran yang menurut saya “pas” dengan mood, dengan segera merubah suasana menjadi nyaman dan seketika inspirasi mengalir, termasuk ketika menuliskan narasi tentang kopi ini.
Syukurlah jika kopi ternyata tidak berdampak pada warna kulit, kecuali sedikit kekuatiran karena kopi diduga menjadi pemicu penyakit.
Medis menyebut bahwa risiko kanker, diabetes melitus tipe 2, insomnia, jantung dan kehilangan konsentrasi, semua bergantung pada sifat genetika masing-masing orang, terutama kemampuannya dalam metabolisme tubuh.
Kajian medis yang lain, malah menyingkap sebaliknya, kandungan kafein-jenis senyawa kimia alkaloid dikenal sebagai trimetilsantin yang kandungannya berkisar antara 1-1,5 % dalam kopi, demikian juga komposisi beberapa antioksidan seperti polifenol, flavonoid, proantosianidin, kumarin, asam klorogenat, dan tokoferol, secara umum justru menjadi pencegah kerusakan sel dan penghambat pertumbuhan sel kanker melalui pengikatan sejumlah radikal bebas. (Yanagimoto; 2004). Benar atau tidaknya, kita serahkan pada ahlinya, karena “kapasitas” kita adalah menikmati citarasa kopinya saja.
Tapi minum kopi, sachet sekalipun tetaplah harus pakai ukuran. Apa pun ceritanya, minuman yang tidak alami tetap saja harus mempertimbangkan sisi kesehatan. Sekalipun di bungkusan sachet jelas-jelas ditulis kopi asli!. Bahkan ada yang menyarankan jangan memakai gula terlalu banyak pun juga tetap harus kita kontrol.
Tentu pertimbangannya banyak, selain penyakit, juga faktor U. Jangan mentang-mentang maniak kopi, dan merasa toh tetap sehat kok selama minum kopi--sachet sekalipun. Lantas meng-konsumsi kopi seperti jadwal minum obat-tiga kali sehari!.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI