Ia menjadi contoh bahwa pemimpin yang melayani adalah kekuatan yang mampu menggerakkan perubahan, dan bahwa semangat Kebangkitan Nasional bukan sekadar peringatan sejarah, melainkan inspirasi yang hidup di tengah krisis masa kini.
Beruntung kita bisa menarik inspirasi tersebut dari buku "Masinis yang Melintasi Badai" yang jika kita telusuri kedalaman isinya, bukan ditulis dari kursi mewah atau ruang konferensi ber-AC. Tapi buku yang lahir dari sebuah refleksi realitas yang dirangkum dari banyak cerita yang menyentuh langsung kehidupan.
Dari kisah masinis, petugas stasiun, teknisi, hingga pengguna layanan semua yang terhubung dengan kehidupan gerbong-gerbong pendekat jarak. Sebuah pendekatan yang justru menyingkap sisi paling jujur dari seorang pemimpin---dilihat dari mata mereka yang merasakan dampaknya. Saya merasakan keharuan luar biasa membaca sebagian ceritanya.Â
Seolah buku itu adalah sebuah saksi bisu yang merekam semua kerja-kerja keras dan dedikasi luar biasa keluarga besar KAI dengan semua suka dukanya.
Mengetahui para penulisnya, Zulfikar Akbar dan Wisnu Nugroho, dua jurnalis kawakan, saya bisa merasakan jika kerja keras mereka menuliskan buku ini bukan hanya sebuah biografi biasa, tetapi sebagai semacam potret kolaboratif.
Tidak ada suara dominan dari Didiek sendiri, tapi justru itulah yang membuat narasi ini terasa tulus. Karena pemimpin sejati, seperti yang dikatakan Wisnu, kadang bekerja dalam diam---dan "heningnya justru lantang dalam hasil."
Kepemimpinan Sunyi di Tengah Krisis dan Kebangkitan di Atas Rel
Guncangan krisis Covid-19 adalah ujian keberanian dan kompas moral bagi siapapun, apalagi seorang pemimpin yang bergulat dengan layanan publik yang tidak boleh menyerah kalah dengan keadaan.
Di saat krisis menciptakan jurang masalah, pendapatan anjlok dari triliunan menjadi nyaris kosong, dan layanan nyaris lumpuh total, Didiek memilih jalan yang berbeda, tidak ada PHK.
Saya dan para pembaca semua pasti yakin, bahwa bagi sebagian orang, langkah ini terdengar idealis, bahkan nekad. Tapi baginya, pegawai bukan sekadar angka atau beban gaji---mereka adalah roda dari sistem besar yang harus dijaga tetap hidup.
Ini membuktikan bahwa sosok Didiek adalah seorang yang memegang teguh filosofi Pemimpin yang melayani. Langkah strategisnya, langsung memutuskan membentuk tim kecil untuk memantau arus kas mingguan, mengalihkan fokus ke logistik barang, meninjau ulang proyek, hingga menegosiasikan ulang kerja sama. Semua dilakukan dengan prinsip, protect our people. Tidak ada satu pun pegawai yang dilepas. Dan itulah esensi sejati dari kepemimpinan yang adaptif, solutif, dan kolaboratif.
Sebagai hasilnya yang gemilang adalah lahirnya kebangkitan di atas rel. Dimasa ia melakukan banyak gebrakan penting itu, geliat pembangunan transportasi, yang diilhami semangat Hari Kebangkitan Nasional tahun itu terasa istimewa---bukan karena seremoni, tapi karena maknanya.
Wujud nyata, Harkitnas Click, sebuah event reflektif dari KAI, hadir sebagai cermin kolektif bahwa kebangkitan tidak selalu hadir dalam bentuk gegap gempita, tapi bisa juga dari kabin masinis sunyi yang tak pernah lelah menatap ke depan.
Jika dulu kebangkitan nasional lahir dari kesadaran akan kemerdekaan politik, kini kebangkitan bisa bermakna transformasi sistemik.