Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Overthinking di Sekolah, Terlalu Banyak yang Dipikirkan, Terlalu Sedikit yang Diungkapkan

8 Mei 2025   21:10 Diperbarui: 21 Mei 2025   22:50 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya mengalaminya dalam banyak kesempatan mengajar, apakah ketika masuk kelas baru, diawal sekolah bahkan dalam kelas reguler.

Sebenarnya dalam kaitan dengan siswa, overthinking biasanya muncul sebagai kekhawatiran berlebihan terhadap nilai, ekspektasi orang tua, tekanan sosial, dan masa depan. Siswa yang notabene adalah remaja berada dalam fase pencarian jati diri, mereka dibayangi oleh standar kesuksesan yang tinggi dari lingkungan sekitar.

Apalagi jika lingkungan belajarnya sangat kompetitif. Bahkan bisa saja anak tetangga, atau di rumah antar anak bisa saling dibandingkan sebagai ukurannya.

Ujian, tugas menumpuk, tuntutan ranking, dan komentar guru atau orang tua bisa menjadi pemicu kecemasan yang sulit diurai. Jika tidak ditangani dengan baik, siswa bisa terjebak dalam lingkaran setan overthinking—merasa cemas, lalu gagal fokus belajar, kemudian merasa bersalah karena hasilnya tidak optimal, dan akhirnya kembali merasa cemas.

Ternyata menurut data dari World Health Organization (WHO), satu dari tujuh remaja mengalami gangguan kesehatan mental, termasuk kecemasan dan depresi. Salah satu bentuk awal dari gangguan ini adalah pola berpikir ruminatif—memikirkan sesuatu secara berulang tanpa menemukan solusi. Inilah bentuk klasik dari overthinking.

Siswa yang terlalu banyak berpikir negatif cenderung mengalami kesulitan berkonsentrasi, sulit mengambil keputusan, dan menurunnya kepercayaan diri. Mereka lebih mudah ter-distraksi oleh pikiran-pikiran "bagaimana jika gagal?" daripada fokus menyelesaikan soal atau memahami materi pelajaran.

Dampaknya bisa langsung terlihat seperti yang saya temukan di kelas. Dalam jangka panjang, hal ini berdampak pada motivasi belajar yang menurun. Siswa menjadi mudah menyerah, merasa usahanya sia-sia, dan akhirnya mengalami penurunan nilai akademik. Bahkan ada yang menarik diri dari aktivitas sekolah karena merasa tidak mampu memenuhi ekspektasi.

Lebih dari sekadar nilai, overthinking juga bisa menurunkan kesejahteraan psikologis siswa. Mereka menjadi lebih mudah lelah secara emosional, tidak menikmati proses belajar, dan bahkan mulai meragukan harga diri mereka. Ini adalah hal serius yang perlu menjadi perhatian bersama—guru, orang tua, dan lingkungan sekolah.

Sewaktu saya tanyakan dalam forum kelas yang rileks, mengapa mereka diam dan tidak mau ebrtanya atau menjawab, jawabannya cukup menarik. Ada yang kuatir dianggap bodoh jika mengulang pertanyaan yang terlihat mudah, atau merasa takut jawabannya salah dan akan ditertawakan teman lainnya. Atau ada yang merasa dianggap “sok pintar” karena suka menjawab atau bertanya di kelas.

Hal ini juga yang banyak dikritisi oleh para pakar, salah satu sebabnya karena sikap para guru dalam menanggapi saat proses belajar mengajar di kelas. Ada guru yang terlalu keras menghadapi situasi seperti di atas sehingga berdampak pada munculnya rasa takut siswa.

siswa dan masalah di kelas-banten foto
siswa dan masalah di kelas-banten foto

Apa yang Membuat Siswa Rentan Overthinking?

Jika jika merunut dan mengkaji kembali sebenarnya beberapa faktor bisa menjadi indikasi yang bisa membuat siswa rentan mengalami overthinking:

Selama ini sistem pendidikan yang lebih menekankan pada hasil daripada proses sering kali membuat siswa merasa bahwa nilai adalah segalanya. Gagal di satu ujian bisa terasa seperti kegagalan hidup. Tekanan akademik menjadikan siswa menjadi diliputi kekuatiran berlebihan terhadap kemampuannya menghadapi tantangan yang ada.

Meski anak-anak sekarang terlihat lebih lincah, namun dalam beberapa hal jika menyangkut personal atau tantangan yang langsung mengenai dirinya mereka berkecenderungan menjadi seperti “lemah”. Ini mungkin juga menjadi salah satu alasan mengapa generasi sekarang menjadi terlihat lemah ketika berhadapan dengan tantangan dunia kerja seperti kesulitan saat interview.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun