Selain itu, kurangnya prestasi di sekolah juga sering menjadi alasan. Atau faktor itelegensi, anak  dianggap tidak sukses dalam karier, atau tidak berkontribusi secara signifikan dalam keluarga sering kali disalahkan oleh orang tua.
Anak yang nilainya tidak sebaik saudara-saudaranya kerap dipandang sebagai "masalah." Hal ini juga bisa terjadi pada anak yang menghadapi tantangan kesehatan mental atau fisik. Orang tua yang kurang memahami situasi tersebut mungkin merasa frustrasi dan melampiaskan perasaan itu kepada anak tersebut. Bahkan tak jarang kemampuannya dibanding-bandingkan dengan anak saudaranya, malah anak tetangganya.
"Kenapa kamu nggak bisa seperti kakakmu? Lihat dia, selalu dapat nilai bagus di sekolah! Kamu ini bikin malu keluarga saja."
Dialog semacam ini memperlihatkan betapa mudahnya frustrasi orang tua teralihkan ke anak kambing hitam. Sayangnya, hal ini sering terjadi tanpa introspeksi lebih dalam mengenai akar masalah sebenarnya.
Anak yang diposisikan sebagai kambing hitam sering berpengaruh buruk dan serius pada perkembangan emosional anak. Mereka sering tumbuh dengan rasa malu yang mendalam dan perasaan bahwa mereka tidak pernah cukup baik. Misalnya, seorang anak yang selalu disalahkan mungkin berpikir, "Mungkin aku memang selalu salah. Aku memang tidak pantas dicintai."
Gaslighting, sebuah bentuk manipulasi emosional yang sering terjadi dalam keluarga disfungsional, membuat anak sulit membedakan mana yang benar dan salah. Mereka cenderung meragukan penilaian diri sendiri dan merasa tidak memiliki kendali atas hidup mereka.
Dampak jangka panjangnya juga bisa berupa perilaku sabotase diri. Anak yang tumbuh dengan pesan-pesan negatif tentang dirinya cenderung membuat keputusan yang merugikan, seperti malas belajar, mengabaikan kesehatan, atau terlibat dalam hubungan yang merusak.
Bayangkan sebuah keluarga dengan tiga anak. Si sulung, Dina, selalu dipuji karena prestasinya di sekolah. Si bungsu, Fikri, dianggap "anak emas" karena sifatnya yang manis dan penurut. Lalu ada Raka, anak tengah, yang sering kali disalahkan atas segala kekacauan di rumah.
Suatu hari, piring di dapur pecah. Raka, yang sedang membaca buku di ruang tamu, tiba-tiba dipanggil keras oleh ibunya.
"Raka! Kamu ini kenapa nggak hati-hati? Piringnya sampai pecah begitu!"
"Tapi, Bu, tadi aku nggak ke dapur sama sekali. Mungkin Fikri yang nggak sengaja---"
"Jangan nyalahin adikmu! Kamu itu memang selalu cari alasan!"
Raka hanya bisa menunduk, menahan air mata. Ia tahu percuma menjelaskan, karena apa pun yang ia katakan tidak akan mengubah pendapat ibunya.
Menjadi kambing hitam bisa memberikan dampak signifikan pada perkembangan anak. Seperti rasa malu yang mendalam dalam wujud perasaan yang terinternalisasi dan bertahan lama, sering kali terkait dengan ingatan masa kecil. Seseorang yang mengalami peran sebagai kambing hitam dalam keluarga mungkin terus menyalahkan diri atas kekurangan orang tua hingga dewasa dan merasa bersalah atas hal-hal yang sebenarnya bukan kesalahan mereka, demi menjaga keharmonisan.
Akibat pelecehan verbal sejak kecil, anak yang menjadi kambing hitam sering merasa tidak aman secara emosional dan kesulitan mempercayai orang lain maupun intuisi mereka sendiri. Mereka juga mungkin kesulitan membedakan antara yang benar dan yang salah.
Gaslighting yang sering terjadi dalam keluarga disfungsional membuat individu yang mengalami pelecehan sulit menetapkan batasan dan mengenali ketika perilaku orang lain melampaui batas. Mereka cenderung merasa bahwa mereka terlalu berlebihan, sangat sensitif, atau tidak dapat mempercayai penilaian mereka sendiri.
Anak yang menjadi kambing hitam sering menginternalisasi pesan negatif tentang diri mereka sejak kecil. Hal ini bisa menyebabkan mereka melakukan sabotase diri atau menyakiti diri sendiri, seperti prestasi akademis yang buruk, mengabaikan perawatan diri, terlibat dalam aktivitas berisiko, dan bertindak dengan cara yang mendukung persepsi negatif tersebut.