Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Jangan Pukul Rata, Karena Setiap Anak Itu Istimewa Cara Belajarnya

19 Juni 2023   23:26 Diperbarui: 11 Juli 2023   10:12 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 anak-anak dengan karakter dan gaya belajarnya sumber gambar-kompas

Sebagai seorang guru, saya sangat menyadari, jika anak-anak mendapat tekanan dan masalah di sekolah, belum lagi dengan himpitan masalah di rumah mereka. Tapi begitulah kenyataaannya. 

Kemarin saya baru mengunjungi rumah seorang siswa karena sudah dua minggu tak masuk sekolah. Berbekal alamat dari teman sekelasnya, setelah menyusuri lorong komplek yang berliku akhirnya sampai di sebuah rumah kecil diujung jalan. Halamannya luas tapi begitu sunyi suasananya.

Begitu masuk kehalaman, seorang perempuan baya keluar menyambut dan menanyakan maksud kedatangan. Ketika tahu saya guru putrinya, ia sedikit terburu dan mempersilahkan masuk. Dan kami terlibat obrolan.

Saya baru tahu jika murid saya itu ternyata punya masalah secara ekonomi. Selama ini ia tak pernah menceritakan kondisi keluarganya. Apalagi siswi saya itu berpenampilan bersih dan rapi, sehingga tak akan ada yang menyangka jika ia punya masalah. 

Tapi begitulah, tak hanya satu, setiap siswa yang direkomendasi sekolah atau inisiatif sendiri harus saya kunjungi sebagai wali kelas punya ceritannya masing-masing. 

Dengan masalah yang dihadapi masing-masing anak, sebagian dari mereka bertahan, sebagiannya lagi menjadi pemberontak, di sekolah mendapat cap, anak bandel, susah diatur, suka melawan, malas, mengganggu teman, usil, tidak sopan dengan guru, dan bodoh lagi!. Padahal latar belakang masalah setiap anak ternyata kompleks.

Saya menyadari sejak lama berbekal pengalaman sebagai wali kelas, sehingga setiap menemukan kasus selalu saya usahakan untuk bekerja layaknya "detektif partikelir", mengorek info. Beberapa kali menggunakan pendekatan personal.

Pihak sekolah semestinya harus "memahami" masalah-masalah seperti ini. Tak hanya berusaha mendorong kreatifitas atau prestasinya saja, dan "mendapatkan" nilai baik itu untuk sekolah. 

Memang semuanya tidak mudah, apalagi jika kita telah mengetahui latar masing-masing yang membuat anak bertingkah  disekolah. Dan semua ini jelas tidak sesederhana seperti yang kita bayangkan.

Mereka adalah kita


ibu dan anak-kompasiana
ibu dan anak-kompasiana
Sekolah kita sampai saat ini masih membebani anak-anak kita dengan muatan pelajaran yang padat, meng-generalisasi-kan para siswa seolah mereka mempunyai kemampuan dan minat yang sama, dan tak sepenuhnya memahami masalah setiap anak. 

Dan para sisiwa mempelajari pelajaran yang belum tentu sesuai dengan minat-bakatnya. Akibatnya mereka kehilangan mood belajar, menjadi hiperaktif sepulang dari sekolah karena kesal dan bukan tidak mungkin mereka stres layaknya orang dewasa

Susanne Gaschke dalam bukunya Ende der Kindheit, menyebutkan bahwa tiga puluh persen murid sekolah mengeluhkan gangguan sakit yang mereka derita, layaknya yang dialami orang dewasa, yaitu sulit tidur, lemah konsentrasi, sakit kepala, dan sakit perut. 

Anak yang berusia sepuluh tahunan bahkan mengeluhkan tentang hilangnya selera makan mereka. Nah, bukankah hal ini sangat menguatirkan. Selama pembelajaran daring tekanan mereka bertambah, karena mereka kehilangan kemampuan interaksi sosialnya dan lunturnya kekuatan moralitas yang tidak lagi terasah.

Dengan begitu banyak pengalaman langsung bertemu para siswa dan mendengarkan masalahnya, saya sebagai guru juga belajar banyak. Belajar unutk ememhami setiap siswa, dengan masalah yang berbeda. 

Kata orang bijak, pembelajaran tentang kehidupan tak bisa diukur dengan umur, siapaun dapat menjadi pengantar hikmah.

Siswa atau anak-anak kita adalah representasi dari kita dalam wujud kecil. Kita bisa merasakan masalah-masalah yang dihadapi mereka, karena kita juga pernah memiliki pengalaman yang mungkin persis sama.  

interaksi mesra ibu dan putrinya-wartakotalive
interaksi mesra ibu dan putrinya-wartakotalive

Intinya, mereka adalah kita dalam wujudnya yang kecil, mereka mempunyai rasa seperti kita, kecuali barangkali tanggungjawab besar sebagai orang tua dan "penguasa" rumah tangga.

Setiap kali mengalami kejadian atau bersentuhan dengan pengalaman baru dengan siswa, ketika kembali ke rumah, saya mencoba merenung. Bukan tentang apa atau siapa, tapi tentang-anak-anakku sendiri di rumah. Apakah benar mereka juga memiliki masalah yang sama, tapi tak pernah menceritakan kepada kita?.  

Apakah kami pernah bertengkar, marah hanya karena hal-hal yang tidak kita pahami karena keluguannya. Atau karena daya jangkau akalnya yang tak sepadan dengan usia kita ketika itu. 

Atau karena kenakalan yang dibuatnya sebagai bentuk protes atas ketidakadilan, karena cara kita yang salah dalam memahami mereka?. Kita memaksa anak-anak harus berlaku sebagai orang dewasa, padahal mereka anak-anak.

Anak-anak adalah manifesto dari orang tua, pemikiran mereka kadangkala berada jauh dari kebijakan kita, namun ketulusan adalah sebuah buah murni yang ada di hati mereka yang sering tak terlihat dan kita abaikan.

Mareka lahir bagai kertas putih seperti teori Tabula rasa dan akan berwarna seperti kita dan lingkungan memolesnya. Mereka meng-copy paste perilaku kita, mempelajari bagaimana kita marah, bagaimana kita berbohong, bagaimana kita memecahkan masalah. 

Entah dengan kelembutan, emosi, kekerasan fisik, apapun itu akan direkam anak-anak terutama dalam masa golden age-nya.

Setiap Anak Itu Istimewa Cara Belajarnya

kasih sayang ibu dan putranya-sumber gambar faktual.id
kasih sayang ibu dan putranya-sumber gambar faktual.id
Dua kali anak pertama  dirawat karena demam berdarah dan cacar. Selama sakit ia tak pernah mengeluh sedikitpun.

Dalam linangan air mata dan perasaan yang tak bisa dijelaskan, saya belajar tentang kesabaran. Ia memang tak suka mengeluh jika tak perlu, bukan karena tak pintar berkomunikasi, ia bahkan sedikit cerewet untuk beberapa hal, tapi tidak, ketika ia sakit. 

Pernah ia, mengalami luka sayat, aku menyadari ketika sedang mengganti bajunya suatu hari, luka itu sudah hampir mengering dan anakku hanya bilang its ok!, cuma luka biasa aja Ma, sebentar juga sembuh!. Luar biasa menurutku!.

Ternyata anak-anak juga menyimpan ceritanya sendiri soal bagaimana ia harus belajar. Meskipun hampir setiap saat kita selalu mengingatkan mereka untuk terus belajar. 

Orang tua dan bahkan guru di sekolah sering mengabaikan atau mungkin kurang menyadari bahwa setiap anak spesial, karena memiliki cara belajar yang berbeda-beda. 

Ada anak yang cenderung rajin menyimak pelajaran, ada yang cuek dengan mencoret-coret daripada mendengarkan. Tapi ada yang sama sekali menunjukkan sikap bosan meskipun hanya diperintahkan untuk mendengar.

Saya juga mempelajari bagaimana anak-anak belajar di rumah. Cara belajarnya, atau performa belajar, ternyata memang berbeda-beda pada setiap anak. Seperti orang tua lain, saya menyediakan tempat belajar dengan meja dan lampu cukup di ruang pustaka kecil keluarga. 

Ternyata tak semua anak-anak mau belajar ditempat yang sudah tersedia. Kemudian, saya menemukan "rahasia". Bahwa anak pertama cenderung belajar dalam suasana tenang, makanya ia selalu mengambil waktu belajar saat pagi dengan bangun lebih cepat. 


Lain dengan kakaknya yang pertama, anak kedua justru lebih sering main di pustaka keluarga, tapi bukan belajar. Lebih banyak menggambar doodle kesukaannya, sehingga saya dulu sering menguatirkan prestasinya. Padahal setiap tahun ia masuk lima besar di sekolah.

Rupanya ia cenderung menggunakan cara belajar dengan mendengarkan guru ketika menerangkan di kelas, dan mencatatnya. Pernah suatu kali saya lakukan 'Udak" alias ujian mendadak. Hasilnya tak mengecewakan karena sebagian besar soal bisa dijawabnya dengan benar. 

Dulu sempat tak habis pikir, kapan belajarnya kalau setiap hari kerjanya cuma menggambar di rumah?.

Dan diantara ketiganya, anak saya yang bungsu, ternyat suka belajar secara visual. Awalnya saya pikir karena ia masih kanak-kanak diantara kakak-kakaknya. Tapi ternyata, ia memang menyukai belajar sambail bermain. Nalarnya dengan cepat bekerja jika belajar melalui permainan atau visual. Berbeda sekali hasilnya jika dipaksa menghafal.

Ia berprestasi sangat baik. Bahkan jika sekali waktu ia tak mendapat rangking pertama seperti biasanya, ia hanya berkata ' nggak apa-apa ma, sekali-kali bolehlah rangking dua kasian juga teman kepingin rangking satu. 

Gaya Belajar Anak

Gaya Belajar Visual; lebih banyak memanfaatkan penglihatan.

Ciri-ciri pelajar visual : Mudah mengingat dari yang dilihat, Lebih suka membaca daripada dibacakan, Berbicara dengan tempo yang cukup cepat, Cenderung melihat sikap dan gerakan guru yang sedang mengajar, Tidak mudah terdistraksi oleh keramaian, Biasanya suka menggambar apapun di kertas

Gaya Belajar Auditori; mengandalkan pendengaran untuk dapat memahami dan mengingat informasi yang diberikan oleh guru.

Ciri-ciri pelajar auditori : Suka mengingat dari apa yang didengar, Mudah terdistraksi oleh keramaian, Senang membaca dengan keras dan mendengarkan, Lebih mudah belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan, Suka berbicara, berdiskusi, dan menjelaskan sesuatu, Mampu mengingat dengan baik penjelasan guru di depan kelas, atau materi yang didiskusikan dalam kelas.

Gaya Belajar Kinestetik; gaya belajar yang lebih mudah menyerap informasi dengan bergerak, berbuat, dan menyentuh sesuatu yang memberikan informasi tertentu agar siswa dapat mengingatnya.

Ciri-ciri pelajar kinestetik : Senang belajar dengan metode praktek, Menyukai aktivitas yang melibatkan gerakan tubuh, seperti permainan dan aktivitas fisik, Menghafal dengan berjalan atau melihat, Sulit untuk berdiam diri atau duduk manis, selalu ingin bergerak.

 Ternyata banyak hal yang tak kita sadari tentang anak-anak. Dalam banyak kasus ketika terjadi kekerasan disekolah karena disebabkan ulah murid, atau sikap guru yang tak sabar menghadapi ulah anak-anak menyebabkan banyak "insiden". Bahkan tak sedikit yang masuk ke ranah hukum.

Salah paham, komunikasi yang tidak intens, pemahaman guru tentang psikologi siswa, metode belajar, psikologis siswa dan banyak hal bisa menjadi pemicunya. 

Namun pembelajaran atau hikmah yang kita petik, pengalaman menjadi "guru" yang baik bagi kita untuk terus belajar. Bahwa setiap siswa memiliki masalah, memiliki karakter yang paling tidak harus dapat dipahami oleh para guru, agar dengan komunikasi yang baik semua masalah disekolah bisa diatasi. 

Setiap anak menyembunyikan sisi spesialnya, dan sebagai guru kita harus terus menjadi pembelajar untuk bisa memahaminya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun