Ramadan 2021 yang sedang aku jalani, merupakan Ramadan yang ke-2 pada masa pandemi covid-19.
Tahun yang lalu, sepanjang Ramadan aku hanya berdua bersama suami. Anak-anak terisolasi di tempat tinggal masing-masing. Putri pertama dan keluarga di Kuningan, Jawa Barat. Putri kedua dan keluarga di Okayama, Jepang.
Sedangkan Ramadan tahun ini, Putri pertama dan keluarga pindah tempat bekerja dan tempat tinggal ke Bandung. Jadilah aku dan suami yang telah menjadi Nini dan engki yang diberi kesempatan bermain bersama cucu, Laras yang hampir berusia 4 tahun.
Udara Kota Bandung hampir selalu terasa sejuk, bahkan Ramadan 2021 cenderung masih banyak hujan. Padahal kata engki yang asli asal Jawa Barat-Sumedang, kalau tonggeret telah bernyanyi nyaring merupakan pertanda musim segera berganti kemarau.Â
Menikmati berbagai permainan dengan cucu, membuat aku terkenang suasana masa kecil. Tinggal di desa di lingkungan perumahan Pabrik Gula (PG) di kota Kediri, terasa menikmati udara juga cukup sejuk juga. Loji perumahan PG peninggalan zaman penjajahan Belanda, menambah aroma masa kecil makin ceria. Halaman luas membuat anak-anak bisa menghabiskan waktu untuk bermain di halaman hingga menjelang mahgrib.
Hanya saja, saat itu aku belum ikut menikmati Ramadan. Aku mualaf setelah dewasa, saat aku menghabiskan masa mahasiswa di Bandung. Walaupun begitu, suasana kehidupan desa aku bawa dalam keluarga saat membesarkan anak-anak. Saat menunggu berbuka puasa pada bulan-bulan Ramadan bersama anak-anak dan suami, anak-anak sering menghabiskan waktu di halaman.Â
Walaupun agak berbeda dengan seasana desa, aku mengijinkan anak-anak bermain hingga sore sebelum mandi. Bermain dengan saudara di halaman rumah, atau bermain sepeda dengan saudara juga dan teman di taman komplek perumahan.Â
Memang berbeda dengan masa kecilku, sering mencari undur-undur dan memancing semut dengan daun cemara yang panjang-panjang. Setelah dapat semut, tanduknya dicabut dan diadu dengan semut perolehan teman.
"Aku berdosa ya," kataku kepada engki.