Aku menangis tapi tak berani mengeluarkan suara. Rasa takutku membuat deraian air mata kian deras. Pundakku naik turun sembari menggigit bibir aku terus menangis.
Tak putus doaku untuk diberikan kebebasan saat ini. Pikiranku kacau aku hanya menangis lirih. Sementara tangan Galuh terus menggenggam tanganku di balik kursi.
"Kamu!" Sebuah tonjokan dengan tongkat dari belakang mengenai kepalaku.
"Aakh! Astagfiruloh ... Siapa kamu! Kenapa kami disekap di sini? Mau apa kamu ...," teriakanku begitu keras.
Sengaja aku berteriak untuk melepaskan sesak di dadaku sejak tadi. Sergapan ketakutan telah sampai puncaknya.
Pria itu terbatuk lagi, lalu menghardikku, "Diam! Jangan banyak tanya!"
"Kamu siapa!" kataku tak kalah keras. Suaraku mulai meninggi.
"Gak penting!"
"Tunjukkan wajahmu!" perintahku.
"Buat apa?"
"Kamu takut? Takut aku akan mengingatmu sebagai laki-laki pengecut?" serangku mengabaikan tarikan jari Galuh.