Dalam sebuah keluarga di Wonokromo Surabaya yang baru saja ditinggal wafat salah seorang anggota keluarga, terjadi perselisihan paham tentang pelaksanaan ritual tahlilan.Â
Tahlilan adalah rangkaian dzikir, doa dan membaca surah Al-Qur'an secara berjamaah ditujukan bagi arwah seseorang yang sudah meninggal dunia. Â Tahlilan biasanya dilaksanakan pada malam pertama hingga malam ke-7 sejak mendiang wafat. Â Namun ada pula yang menambahkannya pada hari ke-40, 100 dan bahkan ke-1000. Â
Dalam perselisihan paham itu, salah seorang diantara anggota keluarga menentang diadakan ritual tahlilan dengan alasan tidak ada tuntunan sunah rasul, sehingga bisa dikatakan sebagai amalan bid'ah yang terlarang. Â
Sementara sebagian yang lain ingin menyelenggarakannya karena alasan kebiasaan lingkungan masyarakat yang mayoritas warga Nahdliyin, juga karena "wasiat" mendiang untuk diadakan tahlilan.
Sebenarnya argumentasi dalam perdebatan pro-kontra ritual tahlilan ini cukup panjang, namun secara singkat dapat diketengahkan sebagai berikut:
Dalil Penentang Ritual Tahlilan.
Dalil yang digunakan oleh salah seorang anggota keluarga yang menentang ritual tahlilan adalah hadis nabi, "Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Saw  bersabda, Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, dan do'a anak yang shalih." (HR. Muslim no. 1631).Â
Selain hadis diatas diutarakan juga hadis lainnya, yaitu "Rasulullah Saw bersabda, Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw.Â
Sedangkan sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid'ah. Dan setiap bid'ah adalah kesesatan" (HR. Muslim no. 867)
Dalil Pendukung Ritual Tahlilan.
Sementara dalil atau argumentasi yang biasa digunakan oleh kaum Nahdliyin dalam menyelenggarakan ritual tahlilan juga bersumber al-Qur'an dan hadis nabi, antara lain sebagai berikut: