Mohon tunggu...
Rinda Gusvita
Rinda Gusvita Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Institut Teknologi Sumatera

MSc on Agro-industry Technology. Saya philantropist yang senang membaca, jalan-jalan, berjuang untuk eco-friendly lifestyle, memetik pelajaran dari mana pun kemudian membagi-bagikannya. Bisa kontak saya di rindavita@gmail.com atau keep in touch lewat akun media sosial dan www.rindagusvita.com. Selamat membaca!

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Buku: Warga Krisis Sumatera Tagih Janji Jokowi

9 April 2016   10:01 Diperbarui: 9 April 2016   10:15 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aksesibilitas dan pemerataan pelayanan di wilayah Provinsi Lampung belum mampu terintegrasi di dalam berbagai proyek pembangunan dan investasi di daerah. Ujung-ujungnya aliran transmigran kemudian hanya memberi kemudahan bagi para investor yang dimanjakan dengan ketersediaan tenaga kerja murah, mendukung industri kehutanan, perkebunan, kelautan, dan pertambangan. Transmigrasi lokal di kawasan hutan juga memudahkan para investor dalam mendapatkan lahan dari hutan itu. 

Yang juga jangan dilupakan adalah proyek-proyek kehutanan berupa pengosongan kawasan hutan dari warga, proyek-proyek reboisasi dan penghijauan, dan penggelontoran dana milyaran rupiah untuk menjamin ketersediaan air waduk-waduk sejak tahun 80an. 

Pemanfaatan kawasan hutan oleh kelompok-kelompok masyarakat sejatinya telah dimulai sejak tahun 60an. Pada saat itu pembukaan lahan dan kawasan hutan umumnya dipengaruhi oleh Program Transmigrasi Umum dan Lokal dan adanya migrasi penduduk yang datang secara sendiri-sendiri. 

Kini, pemanfaatan hutan telah meluas ke kabupaten-kabupaten di seluruh kawasan hutan lindung di Lampung. Kawasan-kawasan konservasi telah dikuasai oleh penduduk secara sangat masif. Upaya pengosongan lahan dari warga pun sampai kini masih dilakukan di wilayah Kabupaten Pesisir Barat, Tanggamus, dan Lampung Barat. 

Buku kedua ini juga mempertegas kondisi yang dipaparkan dalam buku sebelumnya, Robohnja Sumatera Kami. #SolusiTandingJokowi mengungkapkan fakta bahwa ternyata dampak buruk yang ditimbulkan oleh pembukaan lahan untuk sawit jauh lebih besar, yaitu dari hal status lahan, alih fungsi lahan, dan degradasi lahan. Dampak lain yang ditimbulkan adalah limbah sisa hasil olahan industri kelapa sawit, dan dampak sosial berupa kekacauan pola produksi dan konsumsi warga. Di sektor perkebunan ini cuma ada dua aktor yang dapat bersaing dan berjaya, yaitu negara melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan pihak swasta yang memiliki kapital besar. Akhirnya, secara sistemik petani semakin terpinggirkan. Kalaupun mereka hadir di tengah-tengah kebun paling hanya sebagai buruh kebun atau mitra yang dimodali pemilik modal dengan jeratan ikatan finansial yang umumnya sangat merugikan. 

Degradasi hutan dan deforestasi juga nampaknya akan semakin parah lagi melihat keluarnya berbagai paket kebijakan ekonomi itu, yang memuat butir-butir kebijakan pokok tentang penurunan tarif dan atau harga dan tentang penyederhanaan izin pertanahan untuk kegiatan penanaman modal. Para investorlah yang lagi-lagi akan diuntungkan. 


Ketidakmampuan manajerial aparatur penyelenggara negara dalam mengatasi kerusakan hutan dan memenuhi kebutuhan lahan berujung pada kebijakan kompromistik berupa perhutanan sosial. Ini sesungguhnya tidak memberi jaminan untuk produksi-konsumsi (prosumsi) dan keselamatan warga. Kebijakan kompromistik tersebut tidak menjamin bahwa warga yang sudah mendapatkan ruang hidup di kawasan hutan tidak lagi rentan tergusur akibat kebijakan yang sering berubah-ubah. Skema-skema pengelolaan dalam perhutanan sosial sudah lama disiapkan. Sebagai bagian dari upaya menekan kerusakan kawasan hutan telah lama dimunculkan skema pengelolaan hutan bersama masyarakat, antara lain melalui tiga skema pengelolaan yang disiapkan dan mendapatkan legitimasi pemerintah, yakni Hutan Desa (HD), Hutan Kemitraan, Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan Hutan Kemasyarakatan (HKm). Selain itu juga ada Hutan Adat yang tentunya harus dikeluarkan dari kawasan hutan negara, serta Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) yang dipromosikan oleh beberapa LSM.Tetapi di perjalanan inilah masalahnya. 

Hampir satu dekade para petani pengelola HTR di Kabupaten Pesisir Barat mengeluhkan perizinan yang tidak transparan dan tumpang tindih lahan kelola, sehingga tidak sejalan dengan tujuan pelestarian hutan untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Cerita implementasi HTR di Lampung seperti yang dipaparkan dalam buku ini adalah bukti ketidaksiapan pemerintah daerah untuk memikul beban berat kewenangan. Sejumlah masalah yang telah jelas muncul adalah dalam hal pengaturan HTR, baik menyangkut subjek, objek maupun prosedur administratif dan pembiayaan. 

Saat ini di Taman Hutan Rakyat (Tahura) Wan Abdul Rachman, Lampung tidak kurang 10 ribu KK yang bergantung hidup dan sudah lebih dari 30 tahun tinggal dan mengelola lebih dari 40% total luas kawasan Tahura yang 22.244 hektar. Mereka tidak mendapatkan kejelasan akan nasibnya, diombang-ambingkan oleh berbagai janji pemerintah, tapi kemudian digusur, kemudian diberi janji lagi dengan beberapa proyek kehutanan. Intinya mereka merasa tidak aman, tidak nyaman, tidak pasti. 

Kerumitan birokrasi juga terjadi pada implementasi HKm yang dipaparkan pada halaman 21. Jaminan dari Pemerintah diperlukan karena ternyata Pemerintah Pusat terlalu sering mengganti kebijakan, misalnya tentang HKm, dengan dalih penyempurnaan teknis. Walaupun pergantian kebijakan ini untuk penyempurnaan, nyatanya telah membatalkan Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Tengah No. 04 Tahun 2004 tanggal 12 Mei 2004 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan. Inilah betapa tidak adanya kepastian hukum dari pemerintah bahkan terhadap pemerintahan di bawahnya, apalagi terhadap petani HKm di kawasan hutan lindung di Provinsi Lampung yang telah krisis air itu. Belum lagi berbagai proses penyempurnaan kebijakan HKm telah membuat alur birokrasi pengurusan izin HKm semakin panjang. 

Terbatasnya ruang hidup warga ini juga telah menjadikan Provinsi Lampung sebagai pengirim tenaga buruh murah/tidak terampil ke luar daerah. Sungguh ironis karena pengirim buruh terbanyak adalah Kabupaten Lampung Tengah dan Lampung Selatan yang merupakan kabupaten sentra pertanian. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun