Mohon tunggu...
Rinandita Wikansari
Rinandita Wikansari Mohon Tunggu... Associate Professor in Applied Psychology | Industrial Psychologist | Coaching MSMEs for Global Market | Developing Future-Ready Workforce

Aktif mengajar, meneliti, dan menulis seputar soft skills, kepemimpinan, hingga strategi adaptif di dunia kerja modern. Tertarik untuk menulis mengenai dinamika kehidupan akademik, dunia kerja, hingga refleksi psikologis dalam kehidupan sehari-hari—berbasis data, pengalaman, dan pendekatan yang humanis. Berdaya lewat ilmu, berdampak lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dosen Milenial di Tengah Baby Boomers, Gen Z, dan Gen Alpha: Meramu Ilmu, Nilai, dan Harapan

28 Juli 2025   08:13 Diperbarui: 28 Juli 2025   08:13 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dosen (Sumber: unsplash.com/Kenny_Eliason)

Di satu ruang kuliah, seorang dosen milenial menyampaikan materi dengan pendekatan kontekstual dan interaktif. Di ruang rapat, ia berdiskusi dengan dosen senior baby boomers yang menjunjung nilai kedisiplinan dan hierarki. Di rumah, ia menenangkan anak gen alpha yang tantrum karena screen time dibatasi. Tiga generasi, tiga tantangan, satu benang merah: pendidikan yang relevan dan manusiawi.

Antargenerasi: Ruang Kolaborasi atau Ketegangan?

Sebagai dosen milenial, kita adalah penghubung antar generasi. Kita tumbuh dalam transisi teknologi analog ke digital, menyaksikan perubahan nilai kerja, cara belajar, hingga cara berkomunikasi. Kita diajar oleh baby boomers yang teguh pada nilai tradisi, mengajar mahasiswa gen Z yang serba cepat, serba visual, dan tengah membesarkan gen alpha yang digital native sejak lahir. Tantangannya bukan sekadar perbedaan gaya komunikasi, melainkan juga perbedaan paradigma. Ketika baby boomers menganggap loyalitas dan stabilitas sebagai pilar profesionalisme, gen Z justru mengedepankan fleksibilitas dan kebermaknaan. Sementara itu, gen alpha dibentuk oleh algoritma dan suara digital sejak usia dini. Dosen milenial perlu menyelaraskan semuanya: menghormati nilai lama, menyampaikan pengetahuan dengan cara baru, sekaligus mendidik anak yang tumbuh dengan budaya berbeda sama sekali.

Pendidikan Tinggi: Bukan Sekadar Transfer Ilmu

Dunia kampus hari ini tidak lagi bisa menjadi menara gading. Mahasiswa gen Z datang dengan kecemasan kolektif yang khas: takut gagal, overthinking, krisis identitas, dan beban performa. Dosen tak lagi cukup berperan sebagai penyampai teori, tetapi juga fasilitator empati, coach mental, dan navigator masa depan. Ini bukan tuntutan yang ringan. Banyak dari kita belum sempat sembuh dari beban struktural yang diwariskan sistem pendidikan sebelumnya, tetapi sudah harus menyiapkan mahasiswa menjadi talenta siap kerja sekaligus siap hidup. Kita dipaksa belajar ulang: dari bagaimana merancang kurikulum berbasis OBE, sampai bagaimana menyampaikan umpan balik dengan tetap mempertahankan kesehatan mental mahasiswa.

Di Rumah: Tantangan yang Tak Kalah Kompleks

Pulang ke rumah, peran sebagai orang tua menghadirkan ironi lain. Dosen milenial yang cakap menjelaskan teori behaviorisme, justru kewalahan menghadapi anak usia 5 tahun yang tantrum karena iPad-nya diambil. Kita memahami teori perkembangan anak, tetapi tetap merasa gagal saat anak lebih hafal tokoh di YouTube daripada nama-nama hewan di buku cerita. Di sinilah pergulatan menjadi manusia terasa nyata: antara idealisme akademik, ekspektasi institusi, kebutuhan mahasiswa, dan dinamika keluarga. Tuntutan untuk "tough outside, tender inside" tak bisa dihindari.

Lalu, Ke Mana Kita Melangkah?

Peran dosen milenial bukan semata sebagai transisi antargenerasi, tetapi agen perubahan dalam dunia pendidikan. Kitalah generasi yang bisa mengapresiasi warisan baby boomers, menyusun pendekatan baru untuk gen Z, dan menyiapkan masa depan untuk gen alpha. Kita sedang merumuskan ulang relasi pengetahuan, nilai, dan kemanusiaan dalam pendidikan. Penting untuk saling belajar, tidak hanya lintas generasi, tetapi juga lintas peran. Dosen juga manusia. Maka mari berhenti membandingkan generasi dan mulai membangun jembatan dialog. Karena pada akhirnya, dunia pendidikan tidak hanya butuh pengajar yang pintar, tetapi pembelajar yang rendah hati dan penuh empati.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun