Mohon tunggu...
Rinaldi Sutan Sati
Rinaldi Sutan Sati Mohon Tunggu... Owner Kedai Kapitol

Pemerhati dan Pegiat Sosial, Hukum, Politik, Budaya dan Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Dari Jakarta ke Beijing: Soemitro dan Enlai, Dua Jalan Pragmatis Pembangunan Asia

11 Oktober 2025   09:16 Diperbarui: 11 Oktober 2025   09:36 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keterangan Gambar: Soemitro Djojohadikusumo saat muda (sumber: IG @Prabowo. Dalam keterangan website Merdeka.id)

Ada masa di mana ekonomi bukan sekadar angka dan grafik, melainkan soal arah bangsa. Kita hidup di zaman yang menuntut kecepatan, tetapi juga menuntut keteguhan pada prinsip. Di tengah hiruk pikuk globalisasi dan perdebatan tentang peran negara, saya sering teringat dua sosok yang jarang disandingkan, namun sesungguhnya memiliki napas pemikiran yang sama: Soemitro Djojohadikusumo dan Zhou Enlai.

Keduanya hidup di abad ke-20, di tengah pergulatan ideologi besar dunia—kapitalisme, sosialisme, dan nasionalisme. Namun mereka menolak untuk terjebak di antara label. Bagi mereka, ekonomi bukan soal kiri atau kanan, tetapi tentang bagaimana sebuah bangsa mengatur nasibnya sendiri. Dan di situlah, menurut saya, relevansi keduanya menjadi luar biasa penting untuk kita baca kembali hari ini.

Dalam sejarah ekonomi Asia pascakolonial, ada dua nama yang jarang disandingkan tetapi sesungguhnya memiliki denyut nadi yang sama: Soemitro Djojohadikusumo di Indonesia dan Zhou Enlai di Tiongkok. Keduanya lahir dari zaman yang penuh gejolak, di mana bangsa-bangsa baru harus memilih antara dogma ideologi dan realitas kebutuhan rakyat. Dari Jakarta hingga Beijing, dari kampus dan parlemen hingga ruang rapat kabinet, keduanya menulis kisah yang mirip, tentang bagaimana negara seharusnya hadir dalam ekonomi, bukan sebagai penguasa absolut, melainkan sebagai pengarah rasional bagi kemajuan.

Soemitro Djojohadikusumo tumbuh sebagai intelektual ekonomi di tengah atmosfer kolonial yang baru saja runtuh. Pendidikan tingginya di Belanda memberinya landasan kuat dalam teori ekonomi klasik dan Keynesian, tetapi pengalamannya di tanah air membuatnya sadar bahwa teori-teori Barat tidak cukup untuk membangun bangsa muda yang baru merdeka. Ia lalu menggagas konsep ekonomi campuran; suatu bentuk sintesis antara mekanisme pasar dan intervensi negara.

Bagi Soemitro, pasar adalah mesin pertumbuhan, tetapi negara adalah kemudi yang menentukan arah. Tanpa kemudi, kapal ekonomi Indonesia bisa hanyut di arus kapital asing atau oligarki domestik. Karena itu, ia mendorong berdirinya lembaga-lembaga perencana seperti Bappenas dan memperkenalkan pendekatan perencanaan indikatif (indicative planning): negara menetapkan arah pembangunan, sementara sektor swasta diberi ruang untuk berperan dalam kerangka tersebut.

Keterangan Gambar: Zhou Enlai saat muda. (Sumber: Wikipedia)
Keterangan Gambar: Zhou Enlai saat muda. (Sumber: Wikipedia)

Di Beijing, Zhou Enlai menghadapi tantangan berbeda. Sebagai perdana menteri pertama Republik Rakyat Tiongkok, ia harus menjalankan roda pemerintahan dalam bayang-bayang revolusi dan ideologi komunis. Namun Zhou bukan ideolog buta. Di tengah tekanan Mao Zedong dan partai, ia mempraktikkan sosialisme rasional: mengakui peran negara secara dominan, tetapi memberi ruang bagi rasionalitas ekonomi dan fleksibilitas kebijakan.

Zhou memahami bahwa ekonomi tidak bisa berjalan di atas semangat saja. Ia membangun sistem perencanaan terpusat yang lentur, di mana negara menguasai alat produksi strategis tetapi daerah diberi otonomi terbatas untuk berinovasi. Pada awal 1970-an, Zhou mulai membuka hubungan diplomatik dan ekonomi dengan dunia Barat, langkah berani yang melahirkan modernisasi teknologi dan menjadi fondasi reformasi ekonomi di masa Deng Xiaoping.

Baik Soemitro maupun Zhou berangkat dari kesadaran yang sama: pasar bebas tidak otomatis menciptakan keadilan, tetapi ekonomi tertutup juga tak menjamin kesejahteraan. Karena itu, keduanya memosisikan negara sebagai pengarah, bukan penguasa. Negara harus memimpin proses industrialisasi, menata struktur produksi, dan mengatur distribusi modal tanpa membunuh kreativitas ekonomi masyarakat.

Keduanya percaya bahwa pembangunan bukanlah hasil spontanitas pasar, melainkan proses rekayasa sosial-ekonomi yang memerlukan visi dan kontrol. Dalam bahasa ekonomi modern, mereka adalah pelopor developmental state di Asia, konsep yang kemudian mengilhami Jepang, Korea Selatan, dan Singapura.

Soemitro dan Zhou sama-sama tidak anti-asing. Mereka melihat modal luar negeri sebagai energi tambahan, bukan pengganti kedaulatan ekonomi. Soemitro menolak liberalisasi buta, tetapi menyusun kebijakan yang membuka ruang bagi investasi di sektor strategis, asal berada di bawah kendali regulasi nasional. Zhou pun berpikir serupa. Ia menyadari bahwa Tiongkok memerlukan teknologi dan pasar internasional. Melalui diplomasi ekonomi, Zhou mengawali era keterbukaan Tiongkok secara selektif, dengan prinsip "ambil manfaat, kendalikan risiko."

Jika dicari padanan teoretis, Soemitro bisa disebut Keynesian Asia Tenggara, sedangkan Zhou adalah teknokrat Konfusian dari dunia sosialis. Soemitro percaya pada peran belanja publik dan kebijakan fiskal untuk menggerakkan perekonomian, sementara Zhou menekankan keseimbangan sosial dan moral kolektif dalam mengatur produksi. Keduanya memiliki kesamaan mendasar: keyakinan bahwa ekonomi harus berakar pada etika nasional.

Kini, ketika dunia kembali menghadapi ketegangan antara kapitalisme global dan kebangkitan nasionalisme ekonomi, warisan pemikiran Soemitro dan Zhou menjadi relevan kembali. Keduanya menunjukkan bahwa kekuatan bangsa tidak hanya terletak pada jumlah modal, tetapi pada kecerdasan institusional; kemampuan negara untuk menyeimbangkan kepentingan pasar, rakyat, dan kedaulatan.

Dari Jakarta ke Beijing, dari Soemitro ke Zhou, kita melihat dua jalan yang berbeda menuju tujuan yang sama: kemerdekaan ekonomi. Mereka tidak menolak teori Barat, tetapi menafsirkannya sesuai konteks bangsa. Mereka memperlakukan ekonomi sebagai seni memerintah, bukan sekadar permainan angka. Mungkin di masa kini, kita perlu kembali membaca Soemitro dan Zhou. Keduanya mengajarkan bahwa kemandirian ekonomi bukanlah menutup diri dari dunia, melainkan mengatur dunia agar bekerja untuk kepentingan bangsa.

Membaca kembali pemikiran Soemitro dan Zhou Enlai terasa seperti menatap cermin masa depan. Dunia yang mereka bayangkan, dimana negara berperan aktif, rakyat dilibatkan, dan pasar dikendalikan oleh moral nasional masih menjadi cita-cita banyak bangsa hingga kini.

Indonesia dan Tiongkok sama-sama membuktikan bahwa kemandirian ekonomi bukan berarti menolak dunia, tetapi mengatur dunia agar berpihak pada rakyat sendiri. Dan dalam konteks hari ini, ketika ekonomi global berayun antara liberalisasi dan proteksionisme, kita seolah sedang kembali pada pertanyaan yang sama yang dulu mereka jawab dengan jernih: seberapa jauh negara boleh campur tangan, dan seberapa jauh pasar boleh berkuasa?

Barangkali, seperti yang diajarkan keduanya, jawaban terbaik bukanlah ekstrem kiri atau kanan, melainkan keseimbangan yang lahir dari kecerdasan bangsa itu sendiri. Dan di situlah makna terdalam dari “ekonomi berdikari”: bukan sekadar slogan, tetapi refleksi tentang martabat sebuah bangsa di tengah dunia yang terus berubah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun