Mohon tunggu...
Rinaldi Sutan Sati
Rinaldi Sutan Sati Mohon Tunggu... Owner Kedai Kapitol

Pemerhati dan Pegiat Sosial, Hukum, Politik, Budaya dan Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Dari Jakarta ke Beijing: Soemitro dan Enlai, Dua Jalan Pragmatis Pembangunan Asia

11 Oktober 2025   09:16 Diperbarui: 11 Oktober 2025   09:36 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keterangan Gambar: Zhou Enlai saat muda. (Sumber: Wikipedia)

Soemitro dan Zhou sama-sama tidak anti-asing. Mereka melihat modal luar negeri sebagai energi tambahan, bukan pengganti kedaulatan ekonomi. Soemitro menolak liberalisasi buta, tetapi menyusun kebijakan yang membuka ruang bagi investasi di sektor strategis, asal berada di bawah kendali regulasi nasional. Zhou pun berpikir serupa. Ia menyadari bahwa Tiongkok memerlukan teknologi dan pasar internasional. Melalui diplomasi ekonomi, Zhou mengawali era keterbukaan Tiongkok secara selektif, dengan prinsip "ambil manfaat, kendalikan risiko."

Jika dicari padanan teoretis, Soemitro bisa disebut Keynesian Asia Tenggara, sedangkan Zhou adalah teknokrat Konfusian dari dunia sosialis. Soemitro percaya pada peran belanja publik dan kebijakan fiskal untuk menggerakkan perekonomian, sementara Zhou menekankan keseimbangan sosial dan moral kolektif dalam mengatur produksi. Keduanya memiliki kesamaan mendasar: keyakinan bahwa ekonomi harus berakar pada etika nasional.

Kini, ketika dunia kembali menghadapi ketegangan antara kapitalisme global dan kebangkitan nasionalisme ekonomi, warisan pemikiran Soemitro dan Zhou menjadi relevan kembali. Keduanya menunjukkan bahwa kekuatan bangsa tidak hanya terletak pada jumlah modal, tetapi pada kecerdasan institusional; kemampuan negara untuk menyeimbangkan kepentingan pasar, rakyat, dan kedaulatan.

Dari Jakarta ke Beijing, dari Soemitro ke Zhou, kita melihat dua jalan yang berbeda menuju tujuan yang sama: kemerdekaan ekonomi. Mereka tidak menolak teori Barat, tetapi menafsirkannya sesuai konteks bangsa. Mereka memperlakukan ekonomi sebagai seni memerintah, bukan sekadar permainan angka. Mungkin di masa kini, kita perlu kembali membaca Soemitro dan Zhou. Keduanya mengajarkan bahwa kemandirian ekonomi bukanlah menutup diri dari dunia, melainkan mengatur dunia agar bekerja untuk kepentingan bangsa.

Membaca kembali pemikiran Soemitro dan Zhou Enlai terasa seperti menatap cermin masa depan. Dunia yang mereka bayangkan, dimana negara berperan aktif, rakyat dilibatkan, dan pasar dikendalikan oleh moral nasional masih menjadi cita-cita banyak bangsa hingga kini.

Indonesia dan Tiongkok sama-sama membuktikan bahwa kemandirian ekonomi bukan berarti menolak dunia, tetapi mengatur dunia agar berpihak pada rakyat sendiri. Dan dalam konteks hari ini, ketika ekonomi global berayun antara liberalisasi dan proteksionisme, kita seolah sedang kembali pada pertanyaan yang sama yang dulu mereka jawab dengan jernih: seberapa jauh negara boleh campur tangan, dan seberapa jauh pasar boleh berkuasa?

Barangkali, seperti yang diajarkan keduanya, jawaban terbaik bukanlah ekstrem kiri atau kanan, melainkan keseimbangan yang lahir dari kecerdasan bangsa itu sendiri. Dan di situlah makna terdalam dari “ekonomi berdikari”: bukan sekadar slogan, tetapi refleksi tentang martabat sebuah bangsa di tengah dunia yang terus berubah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun