Mohon tunggu...
Miftah Rinaldi Harahap
Miftah Rinaldi Harahap Mohon Tunggu... Partai Hijau Indonesia | New Native Literasi

Sedang bergerilya bersama @Partai Hijau Indonesia, @New Native Literasi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ada Kedaruratan "Lain" di Kota Padangsidimpuan

9 Juni 2025   22:52 Diperbarui: 21 Juli 2025   11:15 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain darurat banjir , sampah dan korupsi ternyata kota Padangsidimpuan masih menyimpan kedaruratan lain, yaitu maraknya kasus kekerasan seksual. Melalui data yang dilansir oleh situs (http://siga.sumutprov.go.id/media/data-kekerasan/kekerasan-terhadap-perempuan-dan-anak)  bahwa jumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara di tahun 2022 adalah 1495 kasus. Kota Padangsidimpuan menyumbang 51 kasus dari jumlah keseluruhan itu. 

Pelaku untuk tindak kejahatan ini masih dikuasai oleh laki - laki dengan jumlah 999. Sedangkan,perempuan dengan jumlah 141 pelaku. Korban terbanyak dari maraknya kasus kekerasan seksual ini masih di dominasi oleh perempuan dengan 1309 korban. Sedangkan, laki - laki berjumlah 368 korban. Jika jumlah korban dilihat berdasarkan status usia, korban anak - anak masih mendominasi dengan persentase 66,4%. Sedangkan, korban dewasa dengan persentase 33,6%.

Gambaran lain yang diberikan oleh data ini adalah 838 kasus kekerasan seksual terjadi di rumah, 121 kasus terjadi di berbagai fasilitas - fasilitas umum dan 63 kasus terjadi di sekolah. Sedangkan, 456 kasus terjadi di sembarang tempat. Hal lainnya yang disampaikan melalui data ini berdasarkan dari jenis kekerasan jumlah kekerasan fisik masih mendominasi dengan 681 kasus lalu disusul oleh kekerasan seksual dengan 588 kasus. 

Kemudian, kekerasan psikis dengan 301 kasus, penelantaran dengan 197 kasus, eksploitasi dengan 15 kasus, trafficking dengan 6 kasus serta 168 kasus untuk jenis kekerasan lainnya. Melalui paparan data ini juga bisa diketahui bahwa sebagian besar kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan bisa tercatat karena hasil aduan dari korban. Itu artinya masih ada kasus yang belum muncul ke permukaan.

Kondisi Kota Padangsidimpuan

Jika tahun 2022 Padangsidimpuan menyumbangkan 51 kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak. Kita harus mengingat bahwa itu adalah jumlah kasus yang tercatat dari hasil pengaduan korban. Bisa saja jumlah lebih atau kurang dari yang tercatat. Itu artinya jumlahnya fluktuatif, sebab belum ada penelitian yang memotret secara khusus dinamika perkembangan dan pertumbuhan kasus ini di Kota Padangsidimpuan.

Kendati demikian, ketika kita mencoba untuk mencari informasi tentang kasus semacam ini di internet. Tidak akan sulit untuk menemukannya. Dari semua kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan di Kota Padangsidimpuan. Saya akan sebutkan dua kasus yang belum lama ini terungkap ke publik. 

Menurut saya dua kasus ini bisa kita jadikan bahan untuk melakukan refleksi. Kasus pertama, bermula pada April 2024, ketika seorang remaja putri berinisial S menjadi korban kejahatan kekerasan seksual yang dilakukan oleh pacarnya- seorang remaja putra berinisial MRST. Adapun jenis tindakan yang dilakukan oleh pelaku adalah mengajak korban untuk melakukan video call mesum. Korban menolak pelaku. 

Penolakan yang dilakukan korban bukan membuat pelaku menghentikan tindakannya tetapi malah membalas dengan mengirimkan korban sebuah video yang menampilkan pelaku sedang melakukan masturbasi. Korban yang ketakutan setelah menerima balasan itu melaporkan tindakan yang dilakukan pelaku kepada keluarga pelaku. 

Tetapi, bukannya berpihak kepada korban dan memberikan peringatan keras kepada pelaku. Keluarga pelaku malah mengancam korban dan meminta agar video tersebut dihapus.Korban tidak menerima permintaan itu. Inilah yang kemudian menggerakkan keluarga pelaku untuk melapor ke polisi. Setelah pelaporan itu dilakukan, somasi pun dilayangkan kepada korban. Hingga kemudian korban mendapatkan status tersangka. 

Keluarga korban yang merasa tidak terima karena perlakuan yang tidak adil dari polisi  meminta bantuan publik. Akhirnya, kasus ini pun viral dan mendapat atensi dari publik. Hal itu berhasil, status tersangka yang sebelumnya disematkan pada korban dicabut oleh polisi. 

Namun, kendati demikian, pihak pemerintah Padangsidimpuan maupun kepolisian Padangsidimpuan secara khusus tidak meminta maaf kepada korban karena penyematan status tersangka tersebut. Jadi, saya kira anda bisa membayangkan betapa terguncang psikis korban yang mendapatkan perlakuan tersebut. 

Akhirnya,kasus ini pun berakhir dengan damai dari kedua belah pihak (https://ombudsman.go.id/perwakilan/news/r/pwkmedia--remaja-di-sidimpuan-jadi-tersangka-setelah-dikirimi-video-syur-ombudsman-minta-kapolda-turun-tangan). 

Kasus kedua, terjadi baru - baru ini. Pada 31 Mei 2025 melalui akun Instagram resminya pihak Polres Padangsidimpuan mengunggah sebuah video yang berisi tentang penangkapan pelaku kekerasan seksual. Ini adalah sebuah kasus yang melibatkan seorang paman dan dua orang anaknya yang mencabuli bahkan memperkosa keponakan yang berusia 15 tahun. 

Hal lain yang membuat kasus ini semakin memilukan adalah pencabulan itu dilakukan oleh pelaku kepada korban- sejak ia berusia 10 tahun.Bahkan, menurut keterangan polisi kasus ini telah berlangsung dari tahun 2019 - 2024 (https://www.instagram.com/reel/DKTjNmpSjmU/?igsh=aGlkMmQ0YzluOThu).

Informasi lain yang juga tidak kalah memilukannya adalah korban pernah ditawarkan sejumlah uang oleh pelaku agar tidak melaporkan kasus ini kepada pihak kepolisian. Tetapi syukurlah korban tetap memilih untuk memperjuangkan keadilan untuk dirinya. 

Refleksi terhadap Dua Kasus 

Lantas, apa pelajaran yang bisa kita ambil dari dua kasus ini ? Melalui kasus ini kita menyadari bahwa perempuan masih dianggap seperti sebuah benda. Cara pandang semacam ini yang kemudian menjadikan perempuan sebagai objek yang berguna untuk memuaskan nafsu semata. Cara pandang seperti ini yang kemudian membuat perempuan dipandang seperti komoditas belaka.

Disebut seperti komoditas belaka karena tubuh dari perempuan - perempuan ini dieksploitasi dan ditindas secara brutal. Mereka seolah - olah tidak dianggap sebagai manusia utuh yang mempunyai akal, martabat serta kemandirian untuk bersikap. Bahkan, kehormatan yang telah direnggut dari mereka seolah - olah bisa digantikan dengan sejumlah nominal. 

Dalam soal penyelesaian kasus semacam ini. Kita akan langsung fokus ke hilir yaitu membawanya ke jalur hukum. Tanpa pernah menelisik, apa sebenarnya hulu dari munculnya kasus semacam ini. Membawa persoalan ini langsung ke jalur hukum memang diperlukan, tetapi  jika melihat kompleksitas kasus semacam ini tidak mungkin penyelesaiannya hanya diupayakan melalui jalur hukum. Jalur hukum selalu bersifat setelah kejadian, itu artinya setelah korban mendapatkan tindakan kekerasan yang kemudian menghasilkan trauma bahkan kematian baru pelaku bisa dihukum.

Hal lainnya yang perlu menjadi catatan adalah soal keberpihakan kita terhadap korban yang masih setengah hati. Di ranah hukum sering kita menjumpai penyataan bahwa korban harus menjadi "korban yang sempurna" agar layak dibela oleh publik. Apakah benar demikian? Bukankah, pernyataan itu sama saja dengan menambah penderitaan kepada korban. 

Dalam artikelnya, Shofia Shobah menjelaskan bahwa "korban yang sempurna" adalah sebuah konsep yang mengharuskan korban terlihat dan berperilaku sesuai dengan kriteria tertentu agar layak dibela.Ia menambahkan bahwa ini merupakan mitos. Sebab, tidak ada korban kekerasan yang sempurna apabila disandarkan pada stereotip sosial yang sifatnya subjektif dan rigid. 

Ia menambahkan bahwa mitos ini juga berbahaya karena pada banyak kasus kekerasan, korban harus memenuhi standar "ideal" agar tidak di-rekviktimisasi. Selain itu, mitos ini juga melanggengkan budaya "victim blaming" dan melindungi pelaku kekerasan. 

Neeraja Sanmuganathan , Sexual Assault Clincian dari University of Notre Dame, Australia mengatakan, seringkali para korban kekerasan seksual mengalami goldiloks dilemma. Yaitu sebuah kondisi dilematis di mana korban dipaksa untuk mampu menjelaskan situasi secara precisely right, tidak kurang, dan tidak lebih. Korban diharuskan mempunyai ingatan yang jelas tentang kekerasan yang terjadi, harus terbukti melakukan perlawanan, dapat melaporkan kejadian sesaat setelah kekerasan berlangsung serta dalam keadaan sadar atau tidak mabuk sehingga dapat dipercaya oleh masyarakat.

Tentu, ketika korban tidak bisa memenuhi kriteria yang sudah disebutkan sebelumnya. Ia akan mengalami satu bentuk ketidakadilan. Betapa korban akan merasa "sendirian" ketika pengalamannya tidak dipercaya hanya karena tidak bisa memenuhi kriteria - kriteria nir- empati tersebut ( Konde.co, 10 Januari 2024 ). 

Di sisi lain kita juga sering menggunakan himbauan - himbauan moral yang biasanya bernuansa agama sebagai upaya untuk menyelesaikan kasus ini. Biasanya, himbauan - himbauan ini lebih ditujukan kepada perempuan agar mengatur cara berbusana, tidak boleh pulang malam hari, atau bepergian dengan berjalan kaki ke tempat - tempat tertentu. 

Sialnya, pada saat yang sama kita gagal memberikan pengetahuan kepada "para pelaku" yang biasanya adalah sebagian besar berasal dari kaum laki - laki untuk memperbaiki cara pandang mereka tentang perempuan. Cara pandang sebagian besar laki - laki terhadap perempuan itu selalu berkutat pada "ketubuhannya" bukan pada "value."

Selain itu, laki - laki juga tidak diajarkan untuk mengelola dorongan hasrat yang ada pada dirinya.Bahkan, mungkin tidak punya kesadaran untuk mencari pengetahuan agar mampu untuk mengelola dorongan hasrat tersebut. Lantas, setelah membaca deretan penjelasan panjang sebelumnya. Kita pun bertanya, sebenarnya apa penyebab semua hal itu bisa terjadi ? 

Akar Persoalan 

Pertama - tama kita harus menyadari bahwa istilah dan konsep kekerasan seksual merupakan pengetahuan baru bagi warga Padangsidimpuan. Atau mungkin bisa dikatakan bahwa sebagian besar warga pernah mendengar istilah ini tetapi enggan untuk mempelajarinya secara lebih mendalam. 

Misalnya, jika ada pertanyaan; apakah anda mengetahui akar kekerasan seksual itu ada budaya patriarki? Saya bisa menduga kalau sebagian besar warga akan menjawab tidak tahu. Atau jika pertanyaannya adalah apakah anda mengerti tentang apa itu budaya patriarki? Saya bisa menduga sebagian besar warga akan menjawab tidak mengerti. 

Kebodohan ini yang kemudian membuat cara pandang sebagian besar warga tidak berubah terhadap perempuan. Mari kita ambil contoh di dalam kehidupan sehari- hari. Sebagian besar dari kita mungkin pernah melakukan "cat calling" kepada seorang perempuan. 

Cat calling adalah sebuah keadaan dimana ada seseorang mengomentari, memberi siulan atau memperagakan gerakan - gerakan tertentu kepada orang lain yang bersifat menggoda sehingga membuat orang tersebut merasa tak nyaman atau merasa terintimidasi. 

Jika kita mencoba untuk membedah apa yang sebenarnya melatarbelakangi kita melakukan ini, kita secara serentak akan menjawab bahwa itu adalah sebuah candaan. Padahal, secara tidak sadar kita sedang melecehkan kehormatan dari seorang perempuan. 

Walaupun, itu dilakukan dengan tujuan bercanda, tetapi tetap saja kita luput dan tidak pernah mempertimbangkan bagaimana kondisi perasaan maupun psikis perempuan yang mendapatkan perlakuan tersebut. 

Kita seolah merasa tahu bahwa pasti perempuan itu juga mengerti bahwa tindakan yang sedang kita lakukan itu adalah sebuah candaan.Melalui penjelasan ini, kita bisa melihat bagaimana kita masih menggunakan cara pandang kita sebagai laki - laki terhadap perempuan. Bahkan, terlihat seakan mendominasi psikis dan tubuh perempuan tersebut.

Itu baru satu contoh yang sering kita temui di kehidupan sehari - hari. Masih banyak contoh contoh lain yang secara tidak sadar kita lakukan karena kebodohan. Kebodohan adalah persoalan utama kenapa peristiwa kekerasan seksual marak terjadi di Kota Padangsidimpuan. 

Tentu, sebab dari kebodohan ini bisa bermacam - macam seperti ketidakpedulian (apatisme) atau kemalasan.Tetapi, sepertinya sebab utama dari kebodohan ini adalah matinya kritisisme kaum intelektual di Kota Padangsidimpuan. Kaum intelektual di Kota Padangsidimpuan tidak peduli dengan kondisi kesosialan warga. 

Kaum intelektual di Kota Padangsidimpuan seakan sibuk melakukan hal - hal yang tidak ada hubungannya dengan perbaikan kondisi kesosialan warga. 

Bukankah, sudah seharusnya kaum intelektual yang mencoba mengurai persoalan ini. Membangun komunitas - komunitas sebagai tempat untuk mengajarkan cara berpikir kritis melalui berbagai forum diskusi yang diselenggarakan. 

Jika hal ini dilakukan, tentu kita tidak akan menggunakan himbauan demi himbauan yang bernuansa moral maupun agama untuk menanggulangi kompleksitas persoalan kekerasan seksual ini.  Tetapi, lagi - lagi karena ketidakmampuan kita untuk berpikir kritis, kita menggunakan himbauan- himbauan itu . Padahal cara itu sebenarnya tidak menyelesaikan akar persoalan kasus kekerasan seksual.

Disisi lain, melalui forum - forum ini, kaum intelektual bisa menyuarakan protes kepada pemerintah kota Padangsidimpuan untuk membuat kebijakan guna menyelesaikan persoalan ini. Tetapi, sialnya kesadaran kaum intelektual belum sampai pada tahap itu.

Kaum intelektual di kota Padangsidimpuan masih terjebak ambisi- ambisi jangka pendek untuk keperluan diri sendiri . Sehingga, mereka gagal untuk mengimajinasikan kehidupan bersama yang lebih baik. 

Terakhir, biarlah saya menutup tulisan ini dengan sebuah kalimat pengingat untuk kita semua : " Bidang seorang sarjana adalah berpikir dan mencipta yang baru, mereka harus bisa bebas dari arus masyarakat yang kacau. Tetapi, mereka tidak bisa terlepas dari fungsi sosialnya, yaitu bertindak demi tanggung- jawab sosialnya, apabila keadaan sudah mulai mendesak. Kaum intelektual yang terus berdiam diri disaat keadaan yang mendesak telah melunturkan semua kemanusiaan"

-Soe Hok Gie-

 

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun