Mohon tunggu...
Rina Natalia
Rina Natalia Mohon Tunggu... Freelancer - -corin-

i juz an ex. Accountant with big luv on Writing and Singing. enjoy being a Marketing in the recent years 😉

Selanjutnya

Tutup

Love

Childfree: Ketika Punya Anak Bukan Lagi Pilihan

29 Mei 2022   09:06 Diperbarui: 1 Juni 2022   13:28 1122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : FB Kick Andy Show

Pertanyaan terakhir (tidak sempat ditanyakan pada 2 narasumber sebelumnya) adalah soal warisan (legacy). Akan diwariskan ke siapa nanti?! Baik, Arief maupun Cibi ternyata sudah berpikir jauh untuk hari tua nanti, ketika pensiun dan jika telah tiada. Mereka berencana untuk menyumbangkan sebagian besar harta mereka ke beberapa yayasan, khususnya yang bergerak di bidang lingkungan hidup. Tidak terbatas harta, tapi di dalam tubuh jika sehat dan bisa didonorkan, ya sudah (tujuan sosial). Sungguh keputusan menarik sekaligus mulia dan mereka yakin bahwa keluarga bisa mengerti, bahwa banyak orang di luar sana yang lebih membutuhkan legacy mereka :)

***

Dari kisah-kisah para narasumber di atas, Mbak Ana memberi kesimpulan dan perspektif nya. Bahwa keputusan childfree dalam hidup adalah keputusan yang sangat personal. Bukan perkara benar atau salah, tidak untuk dibanding-bandingkan juga dengan yang punya anak 1,2,3, dst...karena pasti tidak akan nyambung. Dia juga menambahkan, di negara-negara maju, warga yang merasa tidak mapan secara finansial apalagi miskin, mereka sadar diri untuk tidak usah punya anak (childfree). Karena logikanya "mau dikasih makan apa nanti anakku?!". Sementara di Indonesia justru warga miskin malah banyak anak. Banyak anak banyak rezeki :O :( Jadi memang banyak sekali faktor yang mempengaruhi untuk childfree atau tidak. Semua kembali pada hati nurani dan bagaimana masing-masing individu memaknai bahagia dalam hidupnya :)

sumber gambar : FB Kick Andy Show
sumber gambar : FB Kick Andy Show

Di awal tulisan ini, saya pribadi mengatakan tentang sepaham...pro dengan childfree. Walau belum sampai pada keputusan final, tapi makin kesini saya makin setuju. Childree is not bad for me :)  Yaa...ada kemiripan saya dengan narasumber pertama. Sama-sama sulung dari tiga bersaudara, dengan adik cowok dan cewek. Dan adik yang cewek juga sudah menikah dan punya anak hehehe...Bedanya hanya pada alasannya saja.

Kalau Tori di usia 14 tahun sudah memutuskan childfree, saya jelas belum kepikir di usia segitu. Masih senang-senangnya sekolah dan gaul. Saya baru pacaran serius di usia 22 tahun dan ingin menikah di usia 25 atau maksimal 27 tahun. Bermimpi di usia 30 tahun jadi ibu rumah tangga saja, hidup bahagia mengurus suami dan anak :) Nyatanya di usia 25 tahun saya malah putus pacaran. Lalu entah mungkin sudah jalanNYA, setahun berikutnya pindah ke Jakarta...ibukota yang mengubah hidup saya dalam banyak hal. Mulai dari pola pikir, karir, pergaulan dan pada akhirnya juga mempengaruhi pandangan saya terhadap pernikahan dan punya anak.

Ketika target menikah di usia 25, 27, 30 tahun lewat...saya sempat mikir, 'what's wrong with me?' Apalagi ketika melihat begitu banyak teman sebaya yang sudah pada menikah dan punya anak. Saya sempat merasakan syndrom dan stressnya, belum lagi pertanyaan "kapan?" dari orang-orang yang menurut saya hanya memancing emosi, tidak solutif (copas istilah Bu Tejo di film "Tilik" hehehe...). Thanks GOD, saya tinggal di Jakarta, banyak teman single senasib sepenanggungan. Saya juga cukup gaul dan banyak ikut kegiatan dan komunitas...hal-hal yang menyibukkan sekaligus menghibur hati. Single happy setidaknya sampai usia 30 tahun lewat...

But life has other plan for me...Usia 35 tahun mungkin menjadi titik balik saya dalam hidup. Saya memutuskan back for good to Malang menjelang usia itu. Keputusan yang tidak mudah yang sudah melalui pertimbangan dan perhitungan resikonya. Saya pernah berdoa untuk tidak lagi kerja kantoran, berhenti menjadi wanita karir di usia 35 tahun dan itu dikabulkan TUHAN. Lalu saya menjadi independent property agent dengan jalan yang dimudahkanNYA :) Namun di usia 35 tahun pula saya juga sempat down ketika adik saya yang cewek (bungsu) menikah lebih dulu. Ego saya sebagai anak pertama saat itu meronta 'aku yang biasanya selalu yang pertama hampir di semua hal, untuk pertama kalinya tidak akan menjadi yang pertama (menikah)!' Saya belajar ikhlas dan tidak mau menjadi penghalang kebahagiaan adik saya. Dan ketika akhirnya hari itu datang dan terlampaui, ehh...kok ternyata tidak seburuk yang dibayangkan ya :D Saya mulai santai, lebih cuek, masih tetap ingin menikah. Tapi yaa...gimana mau nikah wong pergaulan makin terbatas?! Sejak di Malang saya juga tidak segaul waktu di Jakarta. Sudah malas dan lelah juga sih. Merasa sudah lewat masanya...

Lalu bagaimana dengan mempunyai anak? Saya tentu memikirkannya walau jujur, saya bukan pecinta anak-anak dan itu sudah terasa sejak saya masih kecil. Kalau suka pun saya milih-milih, lebih suka anak cowok atau anak kembar :D Cuma suka dan lihat saja, bukan ngajak main lucu-lucuan gitu...saya nggak telaten! Tapi...saya pernah sih ingin punya anak kembar, lucu dan praktis kali ya...sekali jalan pas lahiran :P  Saya juga sudah punya nama untuk calon anak-anak saya kelak, nama cowok dan cewek hehehe...Dan itu sempat saya bicarakan dengan seorang teman dekat pria, di usia 30 an. Sudah sejauh itu...

Ketika adik saya yang cewek menikah dan mempunyai anak, hidup saya ikut berubah juga. Keponakan saya itu cowok, ganteng, lucu, ndut, nggemesin dan ngangenin. Entahlah, mungkin naluri keibuan saya terusik...saya bahagia jika bersamanya :) Saya nggak pernah bisa marah, diajak main apapun saya selalu mau...saya nggak bisa egois dengan anak ini. Begitu yang saya rasakan dalam lima tahun ini, dia selalu sukses mengalihkan dunia saya :D

Di sisi lain, keberadaan keponakan juga mungkin mendatangkan rasa aman juga buat saya. Aman dari "kewajiban" menikah dan lalu memberi cucu ke orang tua, dalam hal ini ke Mami saya (Papi saya sudah meninggal 11 tahun lalu). Saya sempat membicarakan juga hal ini ke Mami dan Thanks GOD, beliau fine-fine saja. Saya bersyukur dari dulu orang tua saya memang tidak pernah menarget anak-anaknya harus begini begitu dalam hal apapun :) Tapi ketika saya membahas persoalan ini dengan beberapa teman sebaya, reaksinya pro kontra. Kala itu usia saya sudah menjelang 40 tahun...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun