Mohon tunggu...
Ririn Jamiah
Ririn Jamiah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Merupakan seorang mahasiswi jurusan Magsiter Ilmu Komunikasi Universitas Lampung. Sempat menempuh pendidikan strata 1 pada Ilmu Komunikasi Universitas Bandar Lampung dan sempat aktif sebagai reporter di buletin kampus ROTASI.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Geliat Media Menjelang Hajat Politik

5 Januari 2018   15:54 Diperbarui: 5 Januari 2018   16:26 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: wakingtimes.com

Pilkada serentak akan kembali dilaksanakan pada 27 juni mendatang. Iklan bakal calon gubernur, bupati dan walikota sudah bertebaran dimana-mana. Salah satunya di media penyiaran seperti televisi dan radio. Sebagai sarana komunikasi massa, media penyiaran memang memiliki tempat tersendiri dihati masyarakat. Media penyiaran seperti televisi mampu memanjakan masyarakat melalui berbagai acara hiburan dan acara informasi. Bukan hanya itu, suguhan audio dan visual yang menarik menjadikan penonton semakin betah berlama-lama didepan televisi.

Televisi dan radio kerap dijadikan jembatan dalam pengenalan dan penjualan suatu produk ataupun jasa. Karena jangkauan khalayak yang luas, televisi mampu menjaring konsumen dengan baik sehingga sangat menguntungkan bagi para produsen. Seperti, produk makanan, minuman, pakaian dan lain sebagainya. Bahkan tercipta banyak persaingan yang tidak sehat dalam mengiklankan suatu produk, seperti menyindir slogan dan kemasan produk lain.

Sama hal nya dengan produk komersil, produk politik juga memerlukan media pemasaran yang tepat dan cepat. Ya, media penyiaran. Televisi dan radio masih menjadi media favorit bagi aktor politik untuk memasarkan produk politikya. Bahkan serangan politik yang dilakukan lewat frekuensi udara mampu menjaring para pemilih dan meningkatkan elektabilitas si aktor politik.

Tahun 2018 dan 2019 akan menjadi tahun politik yang sangat sayang untuk dilewatkan. Di tahun-tahun ini kita akan dapat melihat bagaimana sepak terjang para politisi dalam meningkatkan popularitas dan elektabilas individu maupun partainya. Iklan politik yang tayang baik di stasiun televisi maupun radio memang menjadi ladang subur bagi media penyiaran. Semakin banyaknya iklan yang masuk maka semakin besar pula uang yang masuk, terlebih lagi tarif dalam iklan di media penyiaran di bandrol dalam durasi perdetik.

Ada banyak media penyiaran di indonesia, 12 televisi nasional dan ratusan stasiun radio bisa menjadi media pemasaran yang ampuh bagi para aktor politik. Apalagi ada beberapa media penyiaran yang justru dimiliki oleh tokoh politik. Sehingga pemasaran produk politik akan lebih mudah tanpa perlu takut tersaingi oleh lawan politik lainnya. Hal ini tentu menjadikan persaingan dalam panggung pemilihan umum semakin seru lantaran media-media nasional turut memeriahkannya.

Apakah adil? Tentu tidak.          

Hal ini tidak akan adil baik bagi para pesaingnya maupun bagi masyarakat. Media-media tersebut dimiliki oleh sekelompok orang saja, jika informasi dan konten media yang disampaikan hanya berkaitan dengan kepentingan kelompoknya, lalu apa lagi yang bisa dinikmati oleh masyarakat dari televisi yang mengudara melalui frekuensi yang 'katanya' milik publik tersebut?

Padahal sudah jelas dalam Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 menjelaskan bahwa frekuensi merupakan sumber daya alam terbatas dan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 

Namun, jika frekuensi hanya dimiliki oleh sekelompok orang lalu bagaimana dengan kemakmuran rakyatnya? Terlebih lagi media-media tersebut dimiliki oleh mereka yang juga pemilik atau pendiri partai politik. Persaingan politik tanpa media penyiaran saja sudah terbilang 'gila-gilaan', apalagi jika mereka menggunakan media milik sendiri dalam berkampanye.

Seperti pada masa pemilihan presiden Indonesia pada 2014 lalu, ada media yang cendrung menayangkan pemberitan positif terkait pasangan calon presiden nomor urut 2 (Joko Widodo dan Jusuf Kalla) sedangkan media 'rival' malah memberitakan hal yang sebaliknya dan memperbanyak berita positif tentang pasangan calon lain. Pilpres 2014 menjadi gambaran nyata bahwa kepemilikan media penyiaran sangat bermanfaat dan memiliki pengaruh yang besar dalam meningkatkan popularitas dan elektabilitas para elit partai politik.

Musim Pilkada dan Pemilu mendatang seolah akan menjadi 'durian runtuh' bagi media. Apakah akan terulang hal yang sama seperti Pemilu 2014 lalu, atau justru makin panas, sehingga yang bersaing bukan hanya para elit politiknya tetapi para medianya pun turut larut dalam persaingan tersebut?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun