Mohon tunggu...
Rikson Pandapotan Tampubolon XVI
Rikson Pandapotan Tampubolon XVI Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

sedang belajar ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

(Jokowi-JK) Pasangan Dialogis Transformatif

13 Juli 2014   03:24 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:31 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mereka membawa pesan baru bagi kepemimpinan nasional saat ini. Mereka berpencar ke pelosok-pelosok penjuru negeri ini, untuk mengetahui secara pasti apa yang terjadi dilapangan yang sebenarnya. Rekam jejak mereka mencatatkan, blusukan dan dialog langsung kepada rakyat adalah senjata pamungkas untuk mengakhiri problematika yang terjadi dilapangan.

Mereka menebar pesan kepada elit-elit pemimpin negeri ini, tak cukup hanya menerima laporan dari para staf pembantu untuk bisa memahami persoalan di akar rumput. Mereka harus terjun langsung melihat persoalan dan memberikan kepastian bahwa Negara itu ada dan siap membantu. Mereka itu adalah Joko Widodo alias Jokowi dan Jusuf Kalla atau yang akrab disebut dengan JK. Salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang akan bertarung untuk merebut simpati rakyat menuju kursi kepresidenan.

Aksi turun tangan secara langsung ini, jelas telah membuat sebuah pergeseran paradigm baru dalam kepemimpinan nasional dewasa ini. Setelah sekian lama, masyarakat merasakan pemimpin (presiden) itu begitu jauh dan tidak memiliki relevansi akan hidup masyarakat. Kahadiran Jokowi-JK menumbuhkan harapan baru akan perubahan. Utamanya, gaya kepemimpinan yang menawarkan prespektif baru bagi peran serta masyarakat. Masyarakat butuh pemimpin yang bisa merasakan penderitaan mereka secara langsung  dan hadir ditengah-tengah persoalan mereka.

Masyarakat sudah bosan dengan kepemimpinan yang hadir hanya dari atas podium dan pidato-pidato yang tak kunjung berpangkal. Takhayal, gaya kepemimpinan Jokowi yang mengandalkan  blusukan telah menaruh simpati masyarakat dan menumbuhkan harapan akan hasil kongkrit dari kepemimpinan tersebut.

Kalau dulu, pemimpin itu identik dengan gaya memerintah dari kursi singgasana kekuasaan. Mengatur jarak dengan rakyat yang dipimpinnya untuk menjaga wibawa. Hari ini, praktis gaya tersebut harus diuji dengan kepemimpinan yang ditawarkan Jokowi. Kesuksesan memimpin Kota Surakarta dan Propinsi Jakarta adalah bekal bagaimana blusukan itu telah berhasil memenangkan hati rakyat. Namun, gaung blusukan tersebut sekali lagi harus diuji dalam pentas kepemimpinan nasional.

Jokowi memiliki popularitas yang tidak biasa. Disaat rakyat sepertinya skeptis, bahkan apatis terhadap kepemimpinan negeri ini. Jokowi berhasil membangun harapan baru untuk Indonesia yang kita cita-citakan. Jokowi berlahan tapi pasti menggeser pemahaman akan pentingnya turun ke lapangan. Warisan kepemimpinan orde baru Asal Bapak Senang (ABS) sepertinya masih menjangkiti para pejabat di negeri ini. Sehingga, terkadang laporan kepada atasan sering tidak mencerminkan kondisi dilapangan, hanya karena ingin atasan merasa senang. Sesuatu yang mulai ditinggalkan dan dianggap usang.

Blusukan tidak hanya dipandang sebagai serangkaian aksi formalitas belaka. Tetapi lebih dari itu, blusukan dianggap sebagai media komunikasi efektif, antara pemimpin dan rakyatnya ditengah-tengah persoalan. Dialog-dialog yang dibangun dalam aksi blusukan Jokowi menebarkan optimisme rakyat akan kehadiran pemimpin.

Kisah Jokowi dalam melakukan revitalisasi pasar tradisional sewaktu menjadi walikota Solo menimbulkan decak kagum. Inisiatifnya dengan cara mengundang pedagang-pedagang pasar tradisional yang berlangsung sampai puluhan kali, untuk melakukan penataan pasar tradisional. Sungguh memerlukan kesungguhan dan kesabaran dalam melakukan perubahan.

Biasanya pemimpin tidak mau direpotkan dengan melakukan pendekatan yang begitu panjang dan melelahkan. Kekuasaan dianggap sebagai senjata yang bisa dipakai untuk melumpuhkan siapa saja demi tujuan pembangunan. Biasanya, ketika rakyat tidak mau ditertibkan, aksi penggusuran paksa pun menjadi ujungnya.

Keluwesan berpikir dan daya humanisnya seorang Jokowi, membuat dirinya siap bersusah payah demi membangun kata kesepakatan dengan rakyatnya. Rakyat tidak semata-mata sebagai objek dari pembangunan, tetapi sebagai subjek pembangunan yang harus dibangun kesadarannya untuk melakukan perubahan bersama-sama. Buktinya, Jokowi dianggap sukses membangun kota Surakarta yang humanis dan didaulat sebagai walikota terbaik atas pengakuan dan penghargaan dalam dan luar negeri.

Kesempatan yang diberikan kepada Jokowi untuk memimpin Jakarta, juga tidak disia-siakannya untuk mengabdikan diri dalam usaha memecahkan persoalan di ibu kota di Negara ini, dengan aksi blusukannya. Tak jarang, dirinya harus masuk dan turun got/parit untuk mengecek kesiapan pembangunan dan menjamin semua komponen pemerintahan benar-benar bekerja.

Namun, di alam demokrasi di negeri ini. Tidak semua orang sepaham dengan aksi blusukan Jokowi. Pro dan Kontra pun merupakan sebuah keniscahayaan. Ada yang menuding aksi blusukan Jokowi adalah sesuatu yang sifatnya cenderung pencitraan dan bagi sebahagian orang dianggap berlebihan.

Tetapi apapun itu, Jokowi sepertinya tidak terlalu menghiraukan nada-nada sinis yang dialamatkan kepadanya. Toh, akhirnya hasil yang menjadi buktinya. Prestasi dan buah karya Jokowi selama ini patut untuk diacungi jempol. Banyak masalah yang sepertinya sudah menjadi warisan dalam kepemimpinan, berlahan-lahan dia coba selesaikan.

Misalnya, pembenahan birokrasi yang selalu diorientasikan mengedepankan pelayanan publik dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas, serta proyek-proyek untuk publik selalu menjadi fokus dirinya. Misalkan, Pasar Tanah Abang, Waduk Pluit, pembangunan jalan, transportasi publik, serta penyakit kronis ibukota Jakarta yang coba diselesaikannya yaitu Macet dan banjir.

Takdir yang Mempersatukan

Kabar berita yang mengabarkan Jusuf Kalla sebagai pendampingi Jokowi sebagai calon wakil presiden tak sepenuhnya memuaskan hati pendukung Jokowi. Jokowi yang diidentikkan dengan kepemimpinan yang mampu mencirikan dengan semangat orang muda—dari segi umur yang relatif muda--dan wajah baru dalam bursa kepemimpinan nasional. Harus bersinggungan dengan sinisme dengan atribut yang melekat pada JK, yang sudah tua dan berwajah lama.

Tetapi, politik memiliki kalkulasinya tersendiri. JK dianggap mampu menutupi kelemahan Jokowi yang minim akan pengalaman mengelola negeri, dan dalam berhubungan diplomasi dengan luar negeri (internasional).

Maklum saja, Jokowi belum pernah berpengalaman dalam urusan dalam negeri dan luar negeri. Pengalamannya sebagai walikota dan gubernur dianggap belum mencukupi ketika nanti dirinya menjadi presiden Republik Indonesia. Untuk itu, dirinya perlu di back-up oleh orang yang berpengalaman dan untuk menjawab keragu-raguan publik akan masa depan republik ini nantinya, ketika Jokowi menjadi presiden.

Pilihan menggandeng seorang JK, juga dianggap sebagai pasangan perekat semangat kebhinekaan karena berasal dari wilayah timur Indonesia. Rumus kombinasi ini masih dianggap ampuh untuk mendongkrak elaktibilitas pasangan ini untuk memenangkan pemilihan capres dan cawapres.

Berdasarkan dari pengalaman memimpin, pasangan ini memiliki kesamaan gaya kepemimpinan yang mengandalkan dialog untuk pemecahan masalah. Jokowi terkenal akan blusukannya yang mengisyaratkan dialog sebagai bagian dari aksi blusukannya. Jokowi yang terkesan sederhana dan merakyat membuatnya gampang berbaur dengan lingkungannya. Tak heran watak, kebiasaan dan penampilannya membuatnya begitu disenangi rakyat kecil.

Jokowi mengajarkan kepemimpinan dengan nilai-nilai kesederhanaan, berbeda kontras dengan kepemimpinan kita hari yang penuh dengan aksesoris mewah yang  berkilauan. Jokowi seakan-akan mau menyindir pejabat-pejabat negeri ini yang senang hidup bermewah-mewahan. Tentunya, kita sulit mempercayai pejabat yang katanya memperjuangkan wong cilik, tetapi hidupnya penuh dengan kemewahan. Inilah nilai jual seorang Jokowi di mata rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia merasa Jokowi benar-benar kepemimpinan yang berasal dari, oleh dan untuk rakyat.

Begitu juga, JK yang terkenal dengan aksi diplomasinya yang mengedepankan dialog terhadap persoalan-persoalan yang cukup kompleks dan berpotensi menyulut perpecahan lebih luas. Simak saja, sepak terjang JK dalam kasus perundingan damai Aceh dalam perjanjian Helsinki dan Kasus peperangan agama di Poso, Ambon sampai keterlibatan dirinya dalam penyelesaian konflik Filipina dan Myanmar. JK menganggap setiap pihak yang berkonflik patut untuk membangun dialog dengan semua pihak demi penyelesaian masalah dengan mengusahakan prinsip win-win solution.

JK juga dianggap sebagai sosok yang mampu merangkul dan membangun komunikasi pada siapa saja. Kelihaian komunikasinya juga diperlihatkan dalam membangun hubungan dengan parlemen untuk memperlancar tugas-tugas pemerintahan. Terbukti sewaktu dirinya menjabat sebagai wakil presiden mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono pada Kabinet Indonesia bersatu jilid satu.

JK dianggap mampu berkomunikasi dengan anggota dewan di senayan untuk memperlancar tugas pemerintahan. Sebab, tanpa dukungan dari parlemen, susah mengharapkan roda pemerintahan eksekutif boleh berjalan dengan baik. Untuk itu, dibutuhkan komunikasi yang mampu menjembatani hubungan yang baik antara kedua lembaga ini, eksekutif dan legislatif.

Tak ada yang meragukan kapasitas dan kemampuan memimpin dari seorang JK. Agresifitas JK yang kadangkala mendobrak aturan dalam menyelesaikan persoalan bangsa dan Negara ini. Malahan bagi sebagian kalangan, ditakutkan JK mendominasi kewenangan seorang presiden. Tetapi, JK adalah orang yang mengerti akan tugas pokok dan fungsinya sebagai seorang wakil presiden yang bertugas membantu presiden. Bagaimana seorang wapres tetaplah sebagai pembantu seorang presiden.

Saling Melengkapi

Sosok Jokowi dan JK ibarat dua sisi mata uang logam yang saling melengkapi. Kombinasi kepemimpinan Jokowi-JK diharapkan mampu melakukan transformasi bagi bangsa dan Negara ini. Karisma dan pengalaman keduanya diharapkan mampu membuat sinergi untuk Indonesia hebat.

Jokowi yang dalam visi misinya yang dikenal dengan istilah “revolusi mental”, selalu mengutamakan pendidikan manusia dan pembangunan sistem. Sebuah peradaban yang paripurna, tentunya sangat didukung oleh manusia dalam Negara tersebut. Tak ada satupun Negara maju di dunia ini, tanpa di dukung oleh pendidikan manusianya.

Sumber daya alam (SDA) melimpah, tanpa di dukung oleh penguatan sumber daya manusianya (SDM) hanya akan memberikan kesejahteraan sesaat. Sebab, SDA suatu saat akan habis dengan sendirinya, tetapi tidak dengan peningkatan SDM yang terus dikembangkan. Begitu juga, dengan orientasi pembangunan sistem yang digadang-gadang oleh Jokowi. Niscaya, sebuah sistem yang kuat dan baik akan mengantarkan sebuah bangsa ke cita-citanya.

Jokowi adalah pemimpin yang visioner, yang berusaha meningkatkan pendidikan rakyatnya agar bisa mandiri, tidak selamanya tergantung pada sang pemimpin. Pemimpin boleh saja, datang dan pergi, silih berganti. Tetapi, apabila Negara ini telah memiliki sistem yang kuat dan baik. Mudah-mudahan pergantian pemimpin tidak membuat visi Negara bangsa ini berlangsung sesuai selera pemimpinnya.

Akhirnya, kepemimpinan harus senantiasa membangun dialog dengan rakyat. Rakyat harus secara sadar dan berkembang bersama-sama dengan pemimpinnya melakukan perubahan. Pasangan Jokowi-JK diharapkan saling melengkapi dengan tetap mengandalkan dialog dalam memecahkan persoalan yang ada untuk transformasi bangsa. Indonesia hebat bersama Jokowi-JK.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun