Mohon tunggu...
Riko Noviantoro Widiarso
Riko Noviantoro Widiarso Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti Kebijakan Publik

Pembaca buku dan gemar kegiatan luar ruang. Bergabung pada Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kasus Boeing 737 Max dan Pilkada Serentak 2020

5 Oktober 2020   16:44 Diperbarui: 5 Oktober 2020   17:06 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi Pilkada 2020

Masih ingat tragedi Boeing 737 Max? Peritiwa kelam yang membuat gaduh dunia penerbangan. Kecelakaan penerbangan yang terjadi pada 2019 ini terjadi pada dua maskapai penerbangan yakni Ethiopian Airlines Flight 302 milik Ethopia dan Lion Air Flight 610 milik Indonesia. Ratusan korban jiwa direnggut dalam kejadian tragis tersebut.

Berbagai maskapai penerbangan dari berbagai negara yang mengoperasikan pesawat Boeing 737 Max sebagai armada pelayanan udara, mendadat dilanda kecemasan. Organisasi penerbangan internasional pun mengambil sikap. Dengan melarang pesawat Boeing 737 Max untuk mengudara.

Kasusnya sudah berlalu. Manajemen Boeing Commersial Airplanes yang menangani kasus ini patut mendapat pujian. Dihadapan publik dunia secara resmi menyampaikan pengakuan atas kesalahan teknis yang terjadi pada produk pesawat terbarunya itu. Tidak kepalang tanggung pengakuan itu disampaikan langsung CEO Boeing, Denis Muilenberg yang segera tersiar ke seluruh dunia. Bahkan secara detil pihak Boeing menjelaskan penyebab kegagalan hingga dua pesawat komersil milik Eithopia dan Indonesia itu jatuh.

Belajar Dari Sikap Boeing

Setelah peristiwa buruk itu terjadi, perusahaan raksasa bidang penerbangan ini pun tergerus nilai sahamnya. Setidaknya dalam beberapa pekan saja perusahaan yang bermarkas di Chicago, Amerika itu nilainya sahamnya anjlok, mencapai USD 25 miliar. Bukan sebuah kerugian yang sedikit.

Kerugian ini tentu belum berhenti. Management Boeing juga mendapat gugatan dari banyak perusahaan penerbangan yang telah membeli pesawat Boeing 737 Max. Pihak manajemen pun mengucurkan santunan bagi korban senilai Rp. 2 miliar per jiwa.

Apakah hanya disitu saja? Tentu tidak. Perusahaan yang sudah berusia 1 abad lebih ini kehilangan nama besarnya. Perusahaan yang telah berhasil menghidupkan aktifitas angkasa di berbagai negara, harus berjuang keras mengembalikan nama baik.

Apapun itu, manajemen Boeing Commersial Airplanes tidak lepas tangan. Dengan segala kekuatannya memenuhi semua tuntutan dari berbagai negara. Resiko yang harus ditanggung pun tidak terbayangkan.

Lantas apa pelajaran dari kasus ini? Pertama perusahaan apapun tidak bisa lepas dari bayang-bayang kesalahan fatal. Pada kasus Boeing perangkat lunak anti-stall Boeing yang dikenal sebagai MCAS (Maneuvering Characteristics Augmentation System) mengalami malfungsi.

Kedua, manajemen Boeing responsif dalam mengakui kesalahannya. Sikap itu diwujudkan melalui pimpinan tertinggi Boeing yang tampil dihadapan publik. Ketiga, bersedia menanggung beban. Pernyataan CEO Boeing, Denis Muilenberg yang meminta maaf atas meninggalnya 338 jiwa dalam dua kasus jatuhnya pesawat Boeing, menjadi sinyal penting. Sikap maaf itu bukan semata pengakuan atas kesalahan, tetapi juga keberanian menanggung beban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun