Mohon tunggu...
Riki Tsan
Riki Tsan Mohon Tunggu... Dokter Spesialis Mata/Magister Hukum Kesehatan

BERKHIDMAT DALAM HUKUM KESEHATAN

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Politik Hukum Otonomi Profesi vs Otoritas Pemerintah Dalam UU Kesehatan 17/2023

1 Mei 2025   11:58 Diperbarui: 26 Mei 2025   19:11 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik



by dr.Riki Tsan,SpM,MHKes
( Mahasiswa Fakultas Hukum UTA'45, Jakarta,Prodi Doktoral-S3 )

Belakangan ini, jagad maya digegerkan oleh beberapa kasus perbuatan asusila yang menghebohkan dan mengguncang profesi dokter di Indonesia.


Salah satu kasus asusila tersebut adalah kasus seorang dokter spesialis kebidanan dan kandungan (SpOG), yang tertangkap dan terekam kamera CCTV melakukan pelecehan kehormatan seorang wanita, saat dia melakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG) terhadap si wanita di sebuah klinik di Garut, Jawa Barat.

Hanya dalam tempo yang singkat, dokter yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka pelaku tindak pidana oleh aparat penegak hukum setelah dilakukan pemeriksaan dan rekomendasi oleh Majelis Disiplin Profesi (MDP) Kementerian Kesehatan RI.

Dia diancam dengan pidana penjara karena disangka telah melakukan kekerasan seksual berdasarkan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) nomor 12 Tahun 2022 dan juga Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)-WvS.

Terkait dengan berbagai kasus asusila yang dilakukan oleh tenaga medis (dokter/dokter gigi), Kompas TV melakukan wawancara daring dengan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Dr.dr.Slamet Budiarto,SH,MH pada tanggal 21 April 2025.
Pewawancara bertanya bagaimana menjelaskan munculnya kasus kasus perilaku asusila atau kekerasan seksual yang dilakukan oleh dokter ?.
Siapakah yang memiliki tugas dan kewenangan dalam menilai serta mengawasi perilaku etika seorang dokter ?.

Dr. Slamet menjawab, setelah Undang Undang Kesehatan (omnibus) nomor 17 tahun 2023 ( UU Kesehatan) diberlakukan, organisasi profesi IDI, sebagai 'rumah besar' dokter di Indonesia tidak lagi memiliki kewenangan memeriksa kelayakan seorang dokter untuk melakukan praktik profesi dan kemudian menerbitkan rekomendasi izin praktik

Sebagaimana diketahui, pasal 38 Undang Undang Praktik Kedokteran nomor 29 tahun 2004, menyebutkan bahwa untuk mendapatkan Surat Izin Praktik (SIP), dokter maupun dokter gigi harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan juga memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.
Organisasi profesi yang dimaksud adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) untuk dokter gigi.

Ketua Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) IDI masa bakti 2022-2025, Dr. dr. Beni Satria,SH,MH  mengatakan bahwa, surat rekomendasi IDI berfungsi sebagai salah satu alat validasi di masyarakat untuk memastikan praktik yang dilakukan dokter terhadap pasien aman dan sesuai kaidah etik kedokteran (CNN)

Namun sayangnya , Undang Undang Praktik Kedokteran 29/2004 ini telah dicabut seiring dengan diberlakukannya UU Kesehatan 17/2023, yang sekaligus mencabut kewenangan IDI untuk mengeluarkan rekomendasi buat dokter untuk melakukan praktik profesi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun